Sabtu, 26 Maret 2016

Islam dan Peradaban Ilmu

PPShidiqiin Wara` Purwojati. Islam dan Peradaban Ilmu

Para sejarawan modern sepakat bahwa al-Qur’an dan Sunnah memberikan kekuatan pendorong bagi bangkitnya ilmu dan peradaban Islam. Kedua sumber ini kaya dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti perintah mencari ilmu, perintah berfikir, mengamati dan berzikir; pengharagaan terhadap pencari ilmu; dan menjadikan ilmu sebagai alat hidup di dunia dan akherat, dan keistimewaan lain bagi pencari ilmu.
Namun, al-Qur’an dan Sunnah tidak melulu berbicara tentang ilmu, tapi juga obyek ilmu yaitu alam semesta dan subyeknya yaitu manusia. Artinya al-Qur’an dan Sunnah mengandung bakal konsep (seminal concept) tentang al-ilm, al-alim (manusia) dan al ma’lum (alam semesta) yang saling berkaitan. Dan yang terpenting dari seluruh kegiatan keilmuan manusia sebagai al-alim (yang mengetahui) adalah keterkaitannya yang terus menerus dengan al-Aliim (Yang Maha Mengetahui). Oleh sebab itu para ulama mengartikan kata ‘aqala (berfikir, mengikat) dengan mengikat ilmu-ilmu yang kita peroleh dari pengamatan kita terhadap alam dengan al-Aliim (Sang Pencipta alam). Perintah “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Menciptakan” mengandung arti agar kita mengkaitkan bacaan kita terhadap alam semesta ini dengan Tuhan.
Tanpa mengaitkan dengan Tuhan ilmu yang kita peroleh menjadi sekuler, seperti ilmu-ilmu Barat sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa ilmu yang menjadi asas peradaban Islam adalah ilmu yang terikat pada Tuhan, ilmu yang teologis dan bukan ilmu yang sekuler. Maka dari itu dalam kesempatan ini akan disampaikan gambaran bagaimana peradaban Islam dibangun dengan ilmu pengetahuan dimasa lalu dan dimasa depan. Apa yang dinyatakan al-Hassan diatas merupakan gambaran sementara bahwa dimasa lalu ilmu pengetahuan dalam Islam dibangun oleh dukungan kekuasaan, stabilitas politik, ekonomi dan sarana prasarana lainnya. Tapi yang terpenting pertama-tama adalah bahwa al- Qur’an dan Haditd itu sendiri memancarkan kekuatan konsep yang menjadi pendorong lahirnya ilmu pengetahuan.
Dari al-Qur’an ke Tradisi Ilmu
Asas ilmu dan peradaban Islam itu adalah konsep seminal dalam al-Qur’an dan Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan dan dikembangkan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Keseluruhan kandungan al Qur’an dan Sunnah yang dijelaskan oleh para ulama itu merefleksikan suatu cara pandang terhadap alam, baik dunia maupun alam akherat yang secara konseptual membentuk apa yang kini disebut Pandangan Alam, Pandangan Hidup atau Worldview.
Oleh sebab itu, jika al-Qur’an diakui sebagai sumber peradaban Islam, maka dapat dikatakan pula bahwa pandangan hidup Islam merupakan asas peradaban Islam. Dan karena inti dari pandangan alam Islam adalah ilmu pengetahuan maka dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan adalah asas peradaban Islam Dengan konsep yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa tidak ada sisi kehidupan intelektual Muslim, kehidupan keagamaan dan politik, bahkan kehidupan sehari-hari seorang Muslim yang awam yang tidak tersentuh sikap penghargaan terhadap ilmu.
Ilmu memiliki nilai yang tinggi dalam Islam. Oleh sebab tidak heran jika Franz Rosenthal penulis buku Knowledge Triumphant (Keagungan Ilmu) dalam Islam menyimpulan bahwa “ilmu adalah Islam”. Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah.
Periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang wahyu itu. Sebab, pandangan hidup Islam bermula dari peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Disini periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah period awal dan periode akhir.
Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam.
Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, din, ibadah dan lain-lain.3 Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena dua pertiga dari al-Qur’an diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan struktur konsep tentang dunia (world structure)menjadi jelas.
Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.4 Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum inda Allah atqakum).
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistim hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan ummat beragama lain, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim.
Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu kedalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta’wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Atas dasar framework ini maka dapat diklaim bahwa pengetahuan ilmiah yang terbentuk dari adanya istilah-istilah keilmuan (scientific terms) dalam Islam, lahir dari pandangan hidup Islam. Ia tidak diimport dari kebudayaan atau pandangan hidup lain. Ini bertentangan dengan framework para penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary, yang umumnya menganggap ilmu dalam Islam bukan asli dari ajaran Islam. Seakan akan tidak ada sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam kecuali penterjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini diikuti oleh penulis modern seperti Radhakrishnan, Majid Fakhry, W.Montgomery Watt dan lain-lain. Kesemua asumsi itu sudah tentu berdasarkan pada framework tertentu yang tidak menganggap atau menafikan wujudnya pandangan hidup.
Dari pembahasan sejarah bangun dan jatuhnya peradaban Islam diatas kita dapat mengambil pelajaran penting. Pertama bahwa peradaban dimulai dari komunitas kecil yang bergiat mempelajari al-Quran dan Sunnah. Kedua komunitas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup al-Qur’an itu kemudian bertambah besar dengan membentuk kekuatan militer yang akhirnya menjadi institusi negara. Karena universalitas ajaran Islam, maka negara bangsa yang berdasarkan ras dilebur bersama bangsa-bangsa lain dibawah naungan Islam. Kekuatan pemersatu bangsa-bangsa itu adalah pandangan hidup Islam yang teratur dan rasional, serta bahasa Arab. Ketiga, meskipun kekuatan dan orientasi politik umat Islam itu begitu besar, namun visi dan misi umat Islam secara keseluruhanya hampir sama yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari ketiga poin diatas kini kita dapat mengambil ta’bir bahwa jika peradaban Islam di masa lalu dibangun dengan ilmu pengetahuan maka dimasa depan juga perlu dibangun dengan ilmu. Namun, dimasa kini kondisi politik dan ekonomi umat Islam tidak mendukung pengembangan ilmu pengetahuan Islam dengan setting yang persis sama dengan masa lalu.
Jika dimasa lalu umat Islam secara politis dapat mempersatukan teritori yang sangat luas, kini umat Islam – akibat kolonialisme dan nasionalisme – telah terpecah-pecah menjadi kurang lebih 50 negara yang berdiri sendiri, dan tidak mudah dipersatukan. Selain itu, masuknya faham-faham Barat seperti demokrasi, sekularisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan lain sebagainya telah mempegaruhi dan bahkan merubah cara berfikir umat Islam. Akibatnya, perbedaan cara pandang umat Islam terhadap berbagai masalah menjadi semakin tajam, ada yang berorientasi ke Barat dan ada yang berorientasi ke Islam. Perpecahan umat Islam di berbagai bidang pun tidak dapat dihindarkan.
Kondisi diperparah lagi ketika ada diantara umat Islam yang sanggup bekerjasama dengan asing dan berumusuhan dengan sesama umat Islam sendiri. Pihak-pihak asing yang tidak menyukai Islam tentu akan terus bekerja melanggengkan perpecahan ini. Dalam masalah ekonomi umat Islam ternyata juga bermasalah. Negara-negara Islam yang kaya dengan sumber alamnya, ternyata telah dikuasai oleh sistim kapitalisme sehingga secara ekonomis mandul. Umat Islam tidak dapat mengatur ekonominya sendiri dan bahkan tidak bisa memproduk kebutuhannya sendiri.
Terlepas dari situasi politik dan ekonomi umat Islam telah kehilangan kekuatan pemersatu dan pendorongnya. al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi kajian utama dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam. Bahasa Arab sebagai bahasa Ilmu dan bahasa komunikasi antara anggota masyarakat Muslim telah banyak dilupakan. Lalu apa sebenarnya sebab pemicu situasi dan kondisi ini? Syed Muhamad Naquib al-Attas tidak melihat pemicunya dari masalah politik dan kepemimpinan dalam Islam.
Kesalahannya terletak pada kebingungan dan kesalahan persepsi para pemimpin Muslim disemua lapisan dan segi. Karena kualitas pemimpin seperti itu maka arah dan tujuan sistim pendidikan Islam menerima dampak akan kebijaksanaannya. Dan seperti lingkaran setan, sistim pendidikan yang diproduk oleh pemimpin yang berkualitas rendah itu akan menghasilkan pemimpin yang rendah pula. Situasi seperti ini oleh al-Attas disebut sebagai keadaan ketiadaan adam (loss of adab).
Oleh sebab itu solusi yang ditawarkan al-Attas sangat mendasar yaitu menghilangkan kebingungan dan kekeliruan dalam ilmu pengetahuan. Kebingungan dan kekeliruan menurut al-Attas disebabkan oleh kebodohan, dan kebodohan menurutnya seperti yang ia rujuk dari definisi ibn Manzur dalam Lisan al-Arab ada dua: “pertama kebodohan ringan adalah kurangnya ilmu mengenai sesuatu yang seharusnya diketahui; kedua, kebodohan berat, yaitu keyakian yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakuka sesuatu dengan cara-carayang berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dila kukan”.
Lebih jauh lagi kebingungan itu menurut al-Attas disebabkan oleh masuknya pandangan hidup asing kedalam pikiran umat Islam. Kepercayaan pada mitologi, kekuatan magis, doktrin-doktri nasional dan kultural yang bertentangan dengan Islam, serta faham-faham sekularisme, liberalisme, sosialisme dsb. adalah berasal dari pandangan hidup asing yang masuk kedalam pikiran umat Islam. Untuk itu faham yang telah berbentuk konsep itu harus dihilangkan dari pikiran umat Islam. Jika paham itu berasal dari Barat maka perlu langkah de-westernisasi secara sistimatis dan terprogram.
Selanjutnya, adalah memasukkan konsep-konsep penting Islam kedalam pikiran umat Islam. Untuk melakukan hal itu al- Attas mengusulkan perlunya rekonstruksi epistemologi dengan program yang disebut Islamisasi Ilmu pengetahuan Kontemporer
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadits-hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, maka ia betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).
Yang jelas, Ashab al-Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.15 Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadits Nabi, seperti misalnya Abu Hurayrah, Abu Dharr al-Ghiffari, Salman al-Farisi, ‘Abd Allah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini.
Sejarah telah membuktikan bahwa keagungan suatu masyarakat adalah tercermin dari pada kualitas perguruan tinggi masyarakat tersebut. Sayangnya, umat Islam hari ini lebih banyak mendirikan universitas yang hanya meniru pola dan model universitas masyarakat Barat. Padahal universitas Islam sepatutnya berbeda dari universitas Barat baik dalam bentuk, konsep, struktur, dan epistemologinya. Universitas (al-Jami’ah, al-kulliyah) harus dapat membentuk manusia universal yaitu manusia sempurna. Oleh sebab itu seorang ulama atau sarjana bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, tetapi seorang yang universal dalam cara pandangnya terhadap kehidupan dan mempunyai otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling terkait.
Dari uraian diatas kita dapat gambaran bahwa peradaban Islam dimasa lalu dibangun berdasarkan konsep-konsep seminal dalam al-Qur’an dan Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan dan dikembangkan menjadi tradisi intelektual yang mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan Islam itu kini telah ditransfer ke Barat dan telah di sekulerkan. Oleh sebab itu untuk membangun kembali peradaban Islam dengan ilmu pengetahuan memerlukan proses rekonstrusi ilmu pengetahuan kontemporer dengan program Islamisasi. Dengan proses ini Muslim dapat mengambil pengetahuan Barat dengan proses epistemologi yang jelas. Wallahu A’lam
Sumberhttps://pertaniantangguh.wordpress.com/2014/01/31/islam-peradaban-dan-ilmu-pengetahuan/

0 komentar:

Posting Komentar

DUKUNG PENDIRIAN MARKAS YGNI BANYUMAS-PROGRESS REPORT: DANA TERKUMPUL 25,6 JUTA DARI 350 JUTA-SELURUH DANA DARI BP_MAKMUR

Logo Baru YGNI Banyumas

Logo Baru YGNI Banyumas
Perubahan Logo Baru YGNI Banyumas