Kamis, 26 Mei 2016

Peran Syekh H. Zaenuddin Dalam Syiar Islam Di Desa Bantarkalong Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya

Peran Syekh H. Zaenuddin Dalam Syiar Islam Di Desa Bantarkalong Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya

Kuswandi
Program Studi Pendidikan Sejarah-FKIP-UNIGAL
artefak@unigal.ac.id
ABSTRAK[1]
Syekh H. Zaenuddin adalah salah satu syekh yang menyebarkan ajaran Islam ke bagian selatan
Tasikmalaya, tepatnya di Desa Bantarkalong. Syekh Zaenuddin merupakan orang yang dianggap
mempunyai derajat yang tinggi. Di dalam menyebarkan syiar Islam di Bantarkalong dengan cara
berdakwah. Kehadiran Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam mendapat sambutan
yang baik oleh masyarakat Bantarkalong. Ia adalah seorang yang zuhud, pintar, dan terkenal
paling berani. Metode yang digunakan adalah metode histories dengan langkah-langkah 1)
pemilihan topik, 2) pengumpulan sumber, 3) Verifikasi (kritik sejarah), 4) interpretasi, dan 5)
Penulisan. hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peran Syekh H. Zaenuddin layak untuk
dijadikan tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai warga negara dan bangsa yang baik
tentu saja selalu ada rasa memiliki dan tanggungjawab atas perjuangan Syekh H. Zaenuddin
dalam menjalankan syiar Islam di selatan Tasikmalaya khususnya di desa Bantarkalong.
Kata Kunci: Peran Syekh H. Zaenuddin, Syiar Islam, Budaya dan Kesenian
PENDAHULUAN
Beberapa literatur menyatakan bahwa proses masuknya agama Islam ke Nusantara dibawa melalui orang-orang dari Gujarat, Persia, dan Arab disyiarkan dengan cara damai tanpa paksaan, yang pada gilirannya syiar tersebut dilakukan oleh para wali, terutama di Pulau Jawa yang dikenal dengan nama Wali Songo (semilan wali).
Di samping itu menurut berita Tionghoa pada tahun 1415 M di tanah Jawa sudah banyak orang Islam yang di bawa oleh seorang mubaligh Islam terkenal, yaitu Maulana Malik Ibrahim, sedang menurut berita Portugis pada tahun 1498 M. di beberapa daerah pesisir Jawa sudah ada yang memeluk ajaran Islam, kemudian Islam masuk ke Jawa Barat sekitar tahun 1511 M, yang di bawa oleh para pedagang dari Malaka.
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1990: 72) dalam bukunya Sejarah Nasional Indonesia menyatakan bahwa:
Penyebaran Islam di Jawa Barat berikutnya yang secara meluas adalah oleh Sunan Gunung Jati. Secara kronologis Ketika beliau datang ke Jawa Barat tepatnya di Sunda Kelapa, di sana masih merupakan kekuasaan Hindu di bawah Kerajaan Pajajaran, sedangkan sebagian besar wilayah nusantara pada masa itu dikuasai oleh kerajaan Demak. Atas perjuangan Fatahillah dengan seizin raja Demak yaitu Sultan Trenggana maka tersebar agama Islam disana pada tahun 1527 M. Peristiwa ditaklukannya Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis ke Fatahilah, maka sebagai peringatan, digantilah nama Sunda Kelapa dengan nama Jaya Karta. Kemudian satu tahun berikutnya terjadi penaklukan seluruh daerah Sunda Kelapa Banten, dan Cirebon.
Tersebarnya umat Islam di nusantara tidak lepas dari peranan Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam. Setelah Wali Songo, maka perjuangan dilanjutkan oleh para muridmurid dari Wali Songo itu sendiri yang berada di masing-masing daerah. Kedatangan Islam di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dengan proses kedatangan masuk dan berkembangnya Islam di nusantara secara integral. Hal ini disebabkan karena Cirebon dan Banten yang dianggap sebagai pusat penyebaran agama Islam dan kekuasaan Islam di Jawa Barat. Cirebon dan Banten posisinya berada pada lokasi yang strategis baik secara ekonomis maupun politik. Selain itu, letak Cirebon dan Banten berada pada jaringan perdagangan internasional yaitu perdagangan jarak jauh (long distance trade ) yaitu pergadangan Jalur Sutra.
Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran, yaitu Cirebon dan Banten. Kedua daerah itu dikuasai oleh seorang sultan yang juga seorang ulama yaitu Sunan Gunung Djati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita Dibawah kepemimpinannya dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat kekuasaan Islam, yaitu Cirebon dan Banten (Ridin Sofwan, 2000: 44).
Proses Islamisasi di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi Jawa yang dilakukan oleh Wali Songo secara integral. Penyebaran agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari perannan tokoh Sunan Gunung Djati seorang wali yang juga seorang sultan. Selain menyebarkan agama Islam, Sunan Gunung Djati telah menjadi peletak dasar bagi kekuasaan politik Islam di Jawa Barat yang meliputi Banten dan Cirebon. Sementara itu menurut Ridin Sofwan (200: 45) dalam bukunya Islamisasi di Jawa mengatakan bahwa sebelum Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam di Tatar Sunda, sebenarnya di Cirebon sudah ada gerakan penyebaran agama Islam yang dipelopori oleh Haji Purwa, begitu pula Syekh Quro di Karawang, Syekh Datuk Kahfi di Cirebon, dan Syekh Zaenuddin di Tasikmalaya.
Syekh H. Zaenuddin adalah salah satu syekh yang menyebarkan ajaran Islam ke bagian selatan Tasikmalaya, tepatnya di Desa Bantarkalong. Syekh Zaenuddin merupakan orang yang dianggap mempunyai derajat yang tinggi. Di dalam menyebarkan syiar Islam di Bantarkalong dengan cara berdakwah. Kehadiran Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam mendapat sambutan yang baik oleh masyarakat Bantarkalong. Ia adalah seorang yang zuhud, pintar, dan terkenal paling berani.
Setelah Syekh H. Zaenuddin wafat, beliau dimakamkan bersamaan dengan ke empat orang istrinya yang terletak di Desa Bantarkalong Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Makam tersebut berada pada puncak sebuah bukit kurang lebih 100 meter di atas jalan raya Cipatujah. Disekeliling makam Syekh H. Zaenuddin terdapat banyak pekuburan, yang batu nisannya berserakan tidak beraturan. Menurut cerita, kuburan-kuburan tersebut adalah kuburan para santri Syekh H. Zaenuddin, namun tidak diketahui secara pasti dari mana para santri itu berasal.
KAJIAN PUSTAKA
1.    Penyebaran Islam di Jawa Barat Melalui Cirebon
Cirebon sebagai kota wali dan sekaligus pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat masih menyimpan misteri, terutama yang berhubungan dengan sumber-sumber sejarah untuk menjelaskan bentangan sejarah Cirebon yang cukup panjang. Menurut Nina Herlina Lubis (2000: 14) dalam bukunya Sejarah Kota- Kota Lama di Jawa Barat mengatakan bahwa:
Asal-usul kota tersebut lebih banyak ditemukan dalam historiografi tradisional yaitu dalam bentuk manuskrip yang ditulis pada abad 18. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan Cirebon sudah dimulai pada abad 15 dan 16 seiring dengan gerakan penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para wali.
Sejarah mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah di antaranya adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, babad walangsungsang, Pustaka rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi, Wawacan Sunan Gunung Djati dan lain sebagainya. Banyak para ahli atau peneliti meragukan sumbersumber tersebut dan dianggap sebagai sumber sekunder. Tetapi sebelum ada sumber lain yang lebih bisa lebih dipercaya, sumber tadi bisa dipergunakan meskipun sumber sekunder untuk menjelaskan bentangan sejarah perjalanan Islam di Jawa Barat terutama sejarah Cirebon.
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Pasambangan yang letaknya kurang lebih 5 KM dari kota Cirebon sekarang. Sedangkan kota Cirebon sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk yaitu sebuah desa kecil yang merupakan pemukiman masyarakat muslim yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Menurut Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon, Ki Gedeng Alang-Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat menjadi kepala pemukiman masyarakat Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar Kuwu Cerbon. Adapun batas wilayahnya meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur, Cigugur sebelah Selatan, Pegunungan Kromong sebelah Barat, dan Junti (Indramayu) sebelah Utara.
Berdasarkan sumber lokal yang tergolong tradisional, pendiri Kesultanan Islam Cirebon adalah Sunan Gunung Djati. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara. Pada umumnya sumber historiografi tradisional tersebut memulai menjelaskan sejarah Cirebon dari masa akhir Prabu Siliwangi sebagai penguasa Pajajaran.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1983: 29) dalam bukunya Tentang Sajarah Banten mengatakan bahwa:
Setelah Sunan Gunung Djati jadi penguasa Kerajaan Islam Cirebon, secara damai ia mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada saat itu, beribu-ribu orang berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru agama Islam. Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba menentang gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka membiarkan diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima dan memeluk agama Islam dan menghormati Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap bahwa Sunan Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang vital.
Setelah Cirebon berada di bawah kekuasaan kesultanan Islam yang dipimpin oleh
Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau
Syeikh Djati, atau Susuhunan Djati, maka kota
tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik
Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda. Selain itu
Cirebon dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah selain sebagai pusat kekuasaan Kesultanan Islam juga merupakan pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line) yang dikenal perdagangan Jalur Sutra. Dengan demikian maka dalam waktu singkat dibawah kekuasaan Sunan Gunung Djati Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota metropolis.
Sebagai sebuah kota metropolis, Cirebon mempunyai karakteristik di antaranya sebagai berikut:
a.    Tumbuhnya kehidupan kota yang bernafaskan Islam dengan pola penyusunan masyarakat serta hirearki sosial yang kompleks.
b.    Berkembang arsitektur baik yang sacral maupun yang profan seperti Mesjid Sang Cipta Rasa, Keraton, dan bangunan lainnya yang mengadaptasi rancang bangun dan ornamen pra-Islam.
c.    Tumbuhnya karya seni baik itu seni pahat, seni lukis, maupun sastra Islam. Hal ini bisa dilihat dari hasil karya seni seperti seni batik, seni musik, kaligrafi, dan karya sastra serta lainnya.
d.   Tumbuh subur pendidikan Islam yaitu pesantren di sekitar Cirebon.
e.    Cirebon masuk dalam jaringan penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh Wali Songo.
Cirebon sebagai sebuah pusat kekuasaan politik dan dakwah berada di antara pusat-pusat kekuasaan lainnya. Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut perlu dijelaskan bagaimana geostrategi Cirebon pada abad ke 16 terutama aspek ekonomi dan politik. Hal ini perlu dijelaskan karena peran Cirebon sebagai pusat kekuasaan dan dakwah Islam merupakan bagian inheren dari sosialisasi Islam di Jawa Barat.
Secara ekonomis Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati berada di dalam jalur internasional perdagangan jarak jauh yaitu perdagangan jalur sutra. Dengan letaknya yang strategis secara ekonomis, maka di kesultanan Cirebon tumbuh dan berkembang pemukiman bagi para pelaku ekonomi baik yang berasal dari dalam maupun luar Cirebon atau pendatang. Hal inilah yang mendorong Cirebon muncul kota bandar dan merupakan salah satu bandar utama di pantai Utara
Jawa. Letak Kesultanan Cirebon secara diametral berada pada jalur antara Banten dan Jayakarta di bagian Barat dan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Giri di bagian Timur. Dengan demikian posisi bandar Cirebon berada di tengah jaringan ekonomi perdagangan dan penyiaran Islam baik ke Barat maupun ke Timur.
2.    Penyebaran Islam di Jawa Barat Melalui Banten
Sejarah Banten tidak dapat dilepaskan dari sejarah Cirebon. Hal ini disebabkan karena menurut beberapa sumber bahwa ada hubungan yang erat secara historis antara Banten dan Cirebon. Masalah ini berhubungan dengan peran seorang tokoh penyebar agama Islam yaitu Sunan Gunung Djati yang telah dianggap sebagai peletak dasar bagi lahirnya dua kesultanan Islam di Jawa Barat sekaligus yaitu Kesultanan Islam Cirebon dan Banten.
Sejarah Islam di Banten dimulai pada fase akhir dari Kerajaan Hindu Pajajaran yang saat itu sudah mulai menampakan tanda-tanda kemundurannya. Pada saat kekuasaan Hindu Pajajaran sudah mulai melemah, muncul gerakan dakwah Islam yang dipelopori oleh Wali Sango.
Pada saat Kerajaan Pajajaran menuju pada titik kehancuran, di Banten telah banyak penduduk yang memeluk agama Islam berkat gerakan dakwah yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Banten pada saat itu telah menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang baik lokal maupun internasional. Seiring dengan meningkatnya perdagangan antara wilayah Timur dan Barat maka saat itu Banten menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Arab, Cina, India dan Perlak serta para mubaligh.
Menurut Halwani Michrob (1993: 50), dalam bukunya Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten mengatakan bahwa:
Penyebaran Islam di Banten telah dimulai sejak abad ke 7 dan 8 Masehi. Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah ke Banten untuk mengajarkan agama Islam, didaerah itu sudah ada komunitas masyarakat Muslim yang telah mempelajari agama Islam dibawah bimbingan Sunan Ampel. Selain itu menurut Afif Amrullah (1990: 44)di sana sudah ada mesjid jami tempat beribadah orang-orang yang telah memeluk agama Islam di Banten yaitu mesjid di daerah Pacinan.
Kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten terjadi pada saat dia sedang menuju ke Jawa untuk tujuan menyebarkan agama Islam setelah terlebih dahulu singgah di Pasai. Banten pada saat itu merupakan vassal kerajaan Demak. Kedatangan Sunan Gunung Djati yang pada saat itu masih bernama Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil diiringi oleh Dipati Keling dan para pengawalnya berjumlah 98 orang. Ketika tiba di Banten, Syarif Hidayatullah bertemu dengan Ali Rakhmatullah atau dikenal dengan Sunan Ampel yang sedang mengajarkan agama Islam pada penduduk. Banten Syarif Hidayatullah kemudian berguru kepada Sunan Ampel.
Setelah cukup lama tinggal di Banten, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak bersama dengan Sunan Ampel. Dari Demak dia pergi ke Cirebon setelah mendapat tugas dari para wali untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa bagian Barat. Di Cirebon Syarif Hidayatullah berhasil menyebarkan agama Islam dan menjadi penguasa kerajaan Islam Cirebon menggantikan uwaknya Pangeran Cakra Buana.
Sunan Gunung Djati terus membina teritorial wilayah kekuasaannya sambil berdakwah mengajarakan agama Islam ke wilayah peda-laman seperti ke Ukur Cibaliung, Timbanganten, Pasir Luhur, Batu Layang dan Pegadingan. Gerakan penyebaran agama Islam terus ke wilayah Banten yang saat itu bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran.
Kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten atas permintaan utusan Banten yang datang ke Cirebon untk mengajarkan agama Islam di Banten. Menurut Sunarjo (1983) dengan persetujuan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman Al Jawi yang saat itu menjadi Raja di Kerajaan Islam Cirebon, maka Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam.
Pada saat Islam sudah menyebar di Banten, dan mempunyai tonggak serta landasan yang cukup kuat dengan adanya legitimasi dari Bupati Kawung Anten, Syarif Hidayatullah bulang ke Cirebon. Kepulangannya ke Cirebon, karena Raja Kerajaan Islam Cirebon sangat membutuhkan tenaga Sunan Gunung Djati. Sepulangnya di Cirebon Sunan Gunung Djati diserahi tugas untuk memimpin Kerajaan Islam Cirebon oleh Raja Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi karena usianya sudah tua. Naiknya Sunan Gunung Djati sebagai Raja di Kerajaan Islam Cirebon telah mengukuhkan kekuasaannya atas dua wilayah Islam yaitu Cirebon dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Djati diangkat menjadi Sultan di Kerajaan Islam Cirebon, yang dihadapi olehnya pada saat itu baik di Banten maupun Cirebon adalah Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis untuk menghadapi kekuasaan Islam. Pada saat itu Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis mempunyai dan menguasai bandar-bandar yang cukup strategis seperti Bandar Banten, Sunda Kelapa, Pontang, Cikande, Tanggerang dan Cimanuk.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugistahun 1511, dan Pasai tahun 1512, maka pusat perdagangan pindah dari kedua tempat itu ke Bandar Banten. Hal ini disebabkan karena para saudagar Islam yang terdiri dari orang Arab, Cina dan Persia memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Jawa Barat yaitu Banten.
Pada tanggal 8 Oktober 1526 Syarif Hidayatullah memindahkan pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang ke Banten dekat Pelabuhan yang kemudian dikenal dengan “Surosowan“. Menurut Halwani Michrob (1993) dalam bukunya Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten mengatakan bahwa.
Pemindahan pusat kekuasaan itu berhubungan dengan situasi politik dan ekonomi Asia Tenggara saat itu di mana Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis sehingga para pedagang segan melakukan hubungan dagang dengan Portugis dan memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Selat Sunda yaitu Banten.
Setelah menaklukan Banten, maka dilakukan penyerangan terhadap Batavia dengan kekuatan tambahan bantuan dari Banten di bawah pimpinan Hasanudin. Penyerangan ke Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah. Setelah lewat pertempuran sengit, maka Kerajaan Sunda dan Portugis dapat dipukul mundur dari Sunda Kelapa dan akhirnya pada tanggal 22 Juni 1527 dapat dikuasai dan diganti namanya menjadi Jayakarta. Setelah dapat merebut Sunda Kelapa, maka atas persetujuan Sultan Demak Fatahillah diangkat menjadi Dipati Jayakarta.
Pemimpin pasukan yang memimpin penyerang terhadap Sunda Kelapa adalah Fatahillah. Fatahillah mempunyai gelar Maulana Fadhilah Khan al-Pasey Ibnu Maulana Mahdar Ibrahim Al Gujarat. Dia dilahirkan di Pasai pada tahun 1490 Masehi. Ayahnya bernama Maulana Mahdar Ibrahim dari Gujarat India yang tinggal di Basem Pasai. Ayahnya mempunyai keturunan yang sama dengan Syarif Hidayatullah yakni Nurul Amin. Selain itu Fatahillah juga merupakan menantu dari Sunan Gunung Djati.
Sebelum penyerangan ke Sunda Kelapa, Fatahillah tinggal di Demak. Di sini dia mempunyai dua orang isteri. Pertama adalah Nyai Ratu Ayu puteri Sunan Gunung Djati janda dari Pangeran Sabrang Lor Sultan Demak. Isteri kedua adalah Nyai Ratu Pembayun, puteri Sultan Demak Raden Patah janda Pangeran Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati. Dengan demikian hubungan antara Fatahilah dengan Sunan Gunung Djati adalah menantu dari perkawinan dengan puterinya dan suami dari menantunya.
Setelah berhasil merebut Banten, Sunda Kelapa dan menggantinya menjadi Jayakarta, maka Sunan Gunung Djati yang saat itu sudah tua menyerahkan kekuasaan Kesultanan Islam Cirebon kepada Pageran Pasarean, kemudian Banten kepada Maulana Hasanudin, dan Jayakarta kepada Fatahillah.
Setelah Sultan Hasanudin menjadi penguasa Kesultanan Islam Banten, maka terus dilakukan pengembangan-pengembangan baik itu agama, wilayah, politik maupun ekonomi. Langkah Sultan Hasanudin untuk membangun dan mengembangkan Banten lebih menitikberatkan pada pengembangan sektor perdagangan.  Sarana dan prasarana terus dibangun uhtuk melengkapi dan menunjang kekuasaannya.
Banyaknya para pedagang muslim yang datang ke Banten selain aktif berdagang juga berdakwah, maka selain pusat kekuasaan kota Banten itu penjadi pusat dakwah atau penyiaran agama Islam. Dengan demikian, Banten selain sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat juga Sumatera bagian Selatan terutama Lampung.
Pada awal kekuasaannya, Sultan Hasanudin memproklamirkan bahwa Kerajaan Islam Banten berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Demak atau merupakan vassal dari Demak, Hal ini didasarkan karena Banten dapat direbut dari Kerajaan Sunda Pajajaran dan dapat diislamkan dengan bantuan Raja Demak. Tetapi perkembangan berikutnya Sultan Hasanudin pada tahun 1568 memaklumkan bahwa Kerajaan Islam Banten membebaskan diri dari Kerajaan Demak.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (2001) Tindakan Hasanudin melepaskan Kerajaan Islam Banten dari pengawasan Demak merupakan tindakan yang dianggap penting. Hal ini disebabkan selain untuk kemajuan pengembangan Banten, juga untuk menghindarkan diri dari kericuhan yang selalu terjadi pada keluarga kesultanan Demak yang masih merupakan keluarganya. Menurut De Graff (1989: 151) Hubungan keluarga antara Banten dan Demak disebabkan oleh perkawinan antara Sultan Hasanudin dengan salah seorang puteri Kesultanan Demak yang dikaruniai beberapa orang anak. Sultan Hasanudin bertahta di Kerajaan Islam Banten selama 18 tahun.
Sultan Hasanudin mempunyai anak tiga orang yaitu Puteri Pembayun, Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya yang tinggal di Jepara dengan bibinya Ratu Kalinyamat yang nantinya menjadi Pangeran Jepara. Setelah Hasanudin meninggal dunia, maka Kesultanan Banten diserahkan kepada Pangeran Yusuf. Menurut Hamka (1976: 181) Pemerintahan Maulana Yusuf sebagaimana ayahnya merupakan sultan yang memimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama.
Struktur masyarakat dan kota Banten, banyak dijelaskan oleh beberapa sumber baik itu sumber lokal maupun asing. Informasi tertua mengenai struktur masyarakat Banten diperoleh dari Yans Kaerel seorang anggota armada Belanda yang berlabuh di Banten pada bulan Nopember 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Hautman.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode sejarah atau historis, yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, perubahan ataupun gagasan yang tumbuh di masa lalu, untuk menemukan generasi yang berguna dalam memahami kenyataan-kenyataan sejarah yang juga berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk memahami keberadaan dan keterkaitan antara berbagai gejala dalam pengungkapan sejarah tentang peran Syekh H. Zaenuddin di DesaBantarkalong Kecamatan Cipatujah KabupatenTasikmalaya.
Penulis menempatkan realitas tentang peranan Syekh H. Zaenuddin dalam syiar agama Islam khususnya di daerah Tasik Selatan (Bantarkalong) ke dalam konsep-konsep yang dikembangkan oleh para pakar sejarah. Konsep kualitatif dimanfaatkan untuk menciptakan konsep-konsep ilmiah sekaligus berfungsi mengadakan klarifikasi mengenai peranan Syekh H. Zaenuddin dalam syar Islam. Keseluruhan rangka operasional di Lapangan secara sistematis sebagai usaha dalam menemukan jawaban berbagai masalah yang dijadikan fokus dalam penelitian ini.
Metode yang akan penulis gunakan yaitu metode historis. Metode historis merupakan proses kerja untuk menuliskan kisah-kisah masa lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan (Notosusanto, 1978: 36).
Adapun langkah-langkah metode histories sebagai berikut:
1.    Heuristik
Langkah heuristik adalah mengumpulkan sumber sejarah, meliputi benda, bangunan, sumber tertulis atau monografi desa, dan sumber lisan berupa wawancara dengan para pelaku sejarah. Menurut para ahli metodologi sejarah, sumber sejarah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: sumber benda, sumber tertulis, dan sumber lisan.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan sumber primer, atau sumber yang langsung menyaksikan peristiwa dengan mata kepala sendiri. Pada saat ini sumber tidak saja langsung disaksikan oleh mata kepala sendiri, tetapi juga menjadi pelaku secara langsung. Didalam penelitian ini peneliti lebih banyak mengumpulkan data dengan cara wawancara dari sumber primer, yang secara langsung menjadi pelaku atau sumber sejarah.
2.    Kritik dan Verifikasi
Kritik dan verifikasi yang terdiri dari kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern dilakukan untuk mendapatkan kesejatian sumber, sedangkan kritik intern untuk menghasilkan kredibilitas sumber.
3.    Interpretasi
Interpretasi atau sintesa pada langkah ini peneliti merangkai dan menghubungkan hasil penelitian dari berbagai sumer sehingga menjadi satu kesatuan yang diperlukan dan mendukung materi penelitian diambil untuk dipadukan dengan yang lain.
4.    Historiografi
Historiografi yaitu penyusunan data yang telah terseleksi serta telah ditafsirkan ke dalam suatu jalinan cerita yang kronologis, sistematis, dialogis, dan historiografi merupakan tahap terakhir dari metode sejarah, disini akan dilakukan penyampaian sintesa dalam bentuk suatu kisah atau cerita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.    Peran Syekh H. Zaenuddin dalam Syiar Agama Islam
Syekh H. Zaenuddin dalam menyebarkan agama Islam di Tasik Selatan khususnya Desa Bantarkalong melalui dakwah. Syekh H. Zaenuddin mempunyai cara yang unik untuk menemukan tempat sebagai pusat dakwahnya. Beliau sampai ketempat yang dimaksud menanam padi dahulu diladang (ngahuma). Apabila hasil panen sama dengan jumlah benih yang ditanamnya, maka disitulah tempataya. Dan tampat itu namanya sekarang bernama Bantarkalong.Sebelumnya beliau pernah menanam benih di daerah Cisurupan Desa Nagrog namun hasilnya jauh melebihi jumlah benih yang ditanam. Karena hasilnya melimpah daerah Cisurupan tidak jadi sebagai pusat dakwahnya. Sampai sekarang hasil yang melimpah masih sering terjadi. Sebagai rasa syukur kepada Alloh penduduk Cisurupan mengadakan Ianduri (hajatan) selama dua hari dan ini dijadikan tradisi. (Adi, 2011)
Syekh H. Zaenuddin pernah ke Cisurupan daerah tersebut dijadikan daerah pasidkah(daerah khusus) di bawah Bantarkalong. Dari perantauan mencari tempat sebagai pusat dakwahnya, sampai sekarang di Bantarkalong berkembang kepercayaan. Semua orang yang hidup di Bantarkalong tidak akan ada orang kaya dan begitu pula tidak akan ada orang yang kekurangan wallohualam. Ditempat inilah beliau mendirikan pesantren dan misi dakwahnya (sekarang mesjid kaum Bantarkalong) terjadi pada akhir abad 17.
Kehadiran Syekh H. Zaenuddin di Bantarkalong mendapat sambutan sangat baik dari kaum pribumi pada waktu itu, ini terbukti dengan diwakafkannya sebidang tanah tersebut adalah sawah human, di dalam menyampaikanpelajaran kepada santri beliau menggunakan metode yang umumnya diterapkan di pesantrenpesantren tradisional yaitu dengan cara balagan (bandongan) dan Sorogan. (Wawancara dengan Kepala Desa Bantarkalong, 25 Desember 2011)
a.         Tradisi Religius dan Hal Tabu
Ada beberapa tradisi masyarakat Bantarkalong dari warisan ajaran Syakh H. Zaenuddin diantaranya.
1)   Jajabur dan Pamalem pada Bulan Ramadhan (kebiasaan memberi makanan pada malam-malam Ramadhan sebagai sodakoh)
2)   Kerukunan dan persaudaraan yang erat tanpa membedakan kedudukan dan status sosial ini dapat dilihat pada kegiatan bersama membersihkan makam pada tanggal 25 Ramadhan dan ziarah bersama sehabis sembahyang led pada tanggal 1 (satu) Syawal.
Hal yang tabu bagi masyarakat Bantarkalong adalah menabu Gong. Setiap bentuk kesenian yang menggunakan Gong tabu untuk hukumnya (sampai sekarang masih berlaku).
b.   Pasidkah dan Paseban
Syakh H. Zaenuddin selain di kenal waliyullah juga sebagai seorang birokat yang diplomat Dari perjuangannya Bantarkalong menjadi daerah Pasidkah. Dulu daerahnya meliputi kaum Bantarkalong, Ciawitali, Legok Menol, Cipalahlar, Cimertug, Darawati Kaler dan Cisurupan. Dalam menjalankan roda pemerintahan tidak mau tunduk kepada kekuasaaan Belanda, dipakai untuk kesejahteraan penduduk Bantarkalong. Dan ini wujud keberanian dari ketidaksetujuan Syekh H. Zaenuddin terhadap penjajahan Belanda menurut beberapa orang penduduk disana menyatakan Belanda tidak berani mengganggu daerah Pasidkah. (Adi, 2011)
Adapun daerah diluar Pasidkah disebut Paseban. Walaupun begitu daerah paseban tetap menghormati daerah pasidkah karena wibawa dan karismanya Syekh H.Zaenuddin. Kegiatan yang berhubungan dengan daerah pasidkah dan paseban diantaranya dengan adanya kegiatan Pahajat yang dilaksanakan sehari sebelum hari raya (lebaran)
c.    Silsilah Syekh H. Zaenuddin
Menurut penuturan KH Ahmad Muhtarom, Syekh H. Zaenuddin merupakan santri dari Syekh H. Abdul Muhyi keturunannya bertemu pada cucunya yaitu Syekh Zaenul Burhan menikah dengan cucunya Syekh H. Abdul Muhyi Siti Rengka, jadi kaitannya dengan Pamijahan sangat erat Dari sumber yang layak di percaya Syekh H. Zenuddin dilahirkan dari kraton Sumedang, perkiraan rasional itu terjadi pada awal abad ke 17 lebih jelasnya seperti yang tertulis dibawah ini Raden Jaya Taruna Kusuma (Pangeran Kornel)? mempunyai putra Raden Martadijaya dan terakhir Syekh H. Zaenuddin. Syekh H. Zaenuddin mempunyai empat istri
1)   Sembah Sempuh (Rama Mujibah)
2)   Sembah Muhammad (Raden Galing)
3)   Sembah Wetan
4)   Sembah Apun
Dari Sembah Sepuh mempunyai empat anak
1)   Embah Awiska
2)   Embah Sails
3)   ..............
4)   Embah Nagaisah
Dari Sembah Muhammad mempunyai Enam orang anak
1)        Syekh Zaenal Burhan
2)        Eyang Renda
3)        Embah Kaneja
4)        Embah Siti Patimah
5)        Embah Zaenul Abidin
6)        Embah Sari Kodiman
Dari Sembah Wetan mempunyai lima orang anak
1)        Embah Jaya Dinata
2)        Embah Jaya Nurina
3)        Embah Zaenul Ahmad
4)        Embah Siti
5)        Embah Jaya Dinata
Dari Sembah Apun (belum ada data) Embah Kaneja cucu Beliau dari Sembah Muhammad (istri kedua) mempunyai Lima orang anak
1)        Sembah Jaya Munara
2)        Sembah Sari Patimah
3)        Sembah Salijam
4)        Sembah Sakiyam
5)        Sembah Jariah
Embah Sari Kodiman mempunyai satu orang putri yaitu Sembah Simu Dari Syekh Zaenal Burhan dan Siti Rengka menurunkan :
1)        Eyang H. Nairn
2)        Eyang H. Romli
3)        Eyang H. Abdullah
4)        Eyang H. Saleh
5)        K.H. Ishaq
6)        K.H. Ahmad Muhtarom
2.        Kepercayaan Masyarakat Terhadap Budaya dan Kesenian yang Diwariskan Syekh H. Zaenuddin
Sebagai saksi sejarah Mesjid Kaum Bantarkalong merupakan tempat pendidikan santri (pesantren) tatkala Syekh H. Zaenuddin masih jumeneng (hidup) sekarang pesantren tersebut pindah ke selatan dengan nama Pesantren Muara sangat terkenal pada jaman K.H. Ishaq dan merupakan pusat ilmu keagamaan di Tasik Selatan.
Masyarakat Tasik Selatan khususnya desa Bantarkalong sangat menjunjung tinggi akan perjuangan Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam Hal ini terlihat bahwa penduduk di desa Bantarkalong beragama Islam. Masyarakat setempat bahu-membahu membuat sarana dan prasarana di sekitar makam Syekh H. Zaenuddin sebagai kepedulian warga terhadap perjuangan dan warisan leluhurnya. (Kepala Desa Bantarkalong, 2011).
Di tempat pemakaman Syekh H. Zaenuddin terdapat sumber amata air yang volumeairnya tetap baik di musim kemarau atau pun musim hujan. Masyarakat yang ada di sekitar pemakaman Syekh H. Zaenuddin atau pun pengunjung yang datang ke tempat itu apabila pulang sering membawa air tersebut untuk diminum. Keberadaan air tersebut membuat penawasaran setiap pengunujung yang datang ke sana.
Dengan tradisi Islam yang kental, dari dulu di Bantarkalong terdapat seni buhun (tradisional) yang masih lestari "Sinar Pangeling" sebuah group kesenian Terbang Gebes yang bernuansa Islami pimpinan Hador, salah satu kesenian langka warisan dari Syekh H. Zaenuddin, di dalamnya terdapat Shalawatan dan Pupujian, syaimya syarat dengan nilai-nilai agama, nasehat-nasehat dan petuah-petuah yang bernuansa Islami. Selain itu terdapat juga Terbang Seja, agak berbeda dengan Terbang Gebes syaimya bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Dua kesenian ini sering tampil pada even Akbar seperti Sukur Pesisir di Cipatujah, Menyambut tamu negara, hari-hari besar, suriatan massal, menyambut kelahifan, Maulud Nabi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam pembahasan, sehingga dapat ditarik kesimpulan yang lebih jelas mengenai gambaran dan uraian singkat tentang peran Syekh H. Zaenuddin sebagai berikut:
1)   Syekh H. Zaenuddin adalah salah satu Syekh yang menyebarkan ajaran Islam ke bagian selatan Tasikmalaya. Syekh H. Zaenuddin dalam menyebarkan agama Islamdi Desa Bantarkalong melalui dakwah
2)   Masyarakat Tasik Selatan khususnya Desa Bantarkalong sangat menjunjung tinggi akan perjuangan Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam. Hal ini terlihat bahwa penduduk di Desa Bantarkalong beragama Islam
3)   Terdapat beberapa tradisi masyarakat Bantarkalong dari warisan ajaran Syakh H. Zaenuddin diantaranya: 1) Jajabur dan Pamalem pada Bulan Ramadhan; serta kerukunan dan persaudaraan yang erat tanpa membedakan kedudukan dan status sosial.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka peran Syekh H. Zaenuddin layak untuk dijadikan tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai warga negara dan bangsa yang baik tentu saja selalu ada rasa memiliki dan tanggungjawab atas perjuangan Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam di selatan Tasikmalaya khususnya di desa Bantarkalong. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan untuk:
1)        Peminat Sejarah
Agar dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan referensi bagi penyempurnaan penelitian selanjutnya terutama tentang peranSyekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam di desa Bantarkalong.
2)        Untuk Masyarakat
Diharapkan bagi masyarakat dapat merasa bangga dan rasa memiliki, mencintai serta rasa tanggungjawab yang besar dalam memelihara warisan leluhur, terutama untuk masyarakat di wilayah desa Bantarkalong sebagai pewaris perjuangan Syekh H. Zaenuddin..
3)        Perpustakaan
Hasil penelitian sejarah ini dapat dijadikan sebagai koleksi untuk kajian sejarah masa dahulu, dan sarana yang efektif untuk mengetahui lebih lebih jauh tentang peran Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam di selatan Tasikmalaya khususnya desa Bantarkalong.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.
De Graaf, H. J. & T. H. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Pustaka Utama Grafity & KITLV, Jakarta,1985.
Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra dan Sejarah, Unpad, Bandung, 1978.
Hoesen Djajadiningrat, Critische beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving, Nederland, 1913. Diterjemahkan Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa,Djambatan, Jakarta, 1983.
Halwany Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten, Yayasan Baluwarti, Jakarta, 1993.
Hageman, J.C.J. Gescheidenis der Soenda -Landen , TBG deel 16, Batavia : Lange & Co’s Hage M. Nijhoff, 1869.
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991.
Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Nina Herlina Lubis, dkk, Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, Alqa Print, Bandung, 2000.
P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Depdikbud, Jakarta, 1978.
Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
R. Z. Leirissa (penyunting), Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra, Depdikbud RI, Jakarta, 1997.
Susanto Zuhdi (penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Depdikbud RiI, Jakarta, 1997.
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Jilid I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Uka Tjadrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia, Menara Kudus, Kudus, 2000.
Unang Sunarjo, Kerajaan Cirebon 1479 –1809, Transito, Bandung, 1983.
Yoseph Iskandar, Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga, Bandung, 2000.



[1] Jurnal Artefak | Vol. 1 | No.1 | Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar

DUKUNG PENDIRIAN MARKAS YGNI BANYUMAS-PROGRESS REPORT: DANA TERKUMPUL 25,6 JUTA DARI 350 JUTA-SELURUH DANA DARI BP_MAKMUR

Logo Baru YGNI Banyumas

Logo Baru YGNI Banyumas
Perubahan Logo Baru YGNI Banyumas