RANCANGAN KURIKULUM SYUMULIYAH/TERPADU
PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN SALAFIYAH
BERSTANDAR NASIONAL
Oleh: Utawijaya Kusumah
PENDAHULUAN
Menurut Pasal 1 ayat (4) PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan sebutkan: “Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya”.
Menurut terminologi Kementerian Agama, pengertian pesantren mencakup tiga hal, yaitu: (1) Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut; (2) Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum’at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya); (3) Pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonandengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidiÿÿn modernrtemenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing. (Saridjo, 2002:9-10).
Memasuki ranah globalisasi dan modernisasi, peran pesantren semakin penting sebagai lembaga pendidikan yang mengembangkan tradisi spiritual kepada santrinya. Era modern adalah era teknologi; era modern adalah era mesin; era modern adalah efisiensi; serta era modern adalah era percepatan. Semua ini berujung pada birokrasi yang rigide dengan asas hubungan organik yang luar biasa. Pada era inilah, dunia semakin mengecil dan segalanya dilampaui dengan serba cepat. Tidak ada lagi jarak, tidak ada ruang dan tidak juga waktu. Apa yang telah dihasilkan oleh kemajuan teknologi seperti mesin, telpon, televisi, internet, dan komputer, benar-benar telah banyak mengubah cara pandang manusia terhadap dunia.
Pada era inilah, manusia kembali dirindukan oleh cinta kasih dan rasa sayang. Manusia rindu dengan siraman spiritualitas, masyarakat rindu dengan aspek-aspek religius untuk sekadar mendapatkan ketenangan batin dalam dunia yang telah porak-poranda ini. Jika masyarakat modern telah mengalami keterlemparan sisi-sisi kemanusiaannya dan mulai rindu dengan nilai-nilai spiritualitasnya.
Jalan yang bisa ditempuh untuk menjawab dan memilih kedua realitas tersebut adalah dengan mengambil posisi tengah. Nah, jika realitas tersebut kita coba bawa ke dalam dunia pesantren, seharusnya nilai-nilai pendidikan dalam pondok pesantren harus dilandasi semangat pembangunan dan juga dengan dilandasi penyadaran nilai-nilai spiritualitas. Keseimbangan antara keduanya berada posisi yang ditengah-tengah (tawazun), merupakan langkah solutif yang maju yang harus diambil peranannya oleh pesantren.
Dengan demikian maka makna ibadah tidak semata-mata dipahami sebatas ritual belaka, namun juga mencari kehidupan duniawi ke arah yang lebih manusiawi, sejahtera, adil dan merata. Berjuang di dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun industri yang kukuh dan menegakkan pilar-pilar ekonomi rakyat, juga merupakan aktivitas menegakkan panji-panji spiritualitas dalam pembangunan. Dengan kata lain, hasil belajar di pondok pesantren tidak hanyatafaqquh fî al-dîn semata, akan tetapi perlu dikembangkan menjadi tafaqquh fî al-dîn wa al-dunya adalah pilihan terbaik untuk dijadikan landasan filosofi semangat pembelajaran di pondok pesantren, sehingga pesantren akan memiliki daya saing yang tidak dapat disaingi oleh lembaga pendidikan lainnya. Sebab, daya saing utama pesantren yang patut diunggulkan adalah kelebihannya dalam pembelajaran spiritualitas.
Keunggulan inilah yang dimiliki oleh pondok pesantren, sehingga hingga hari ini pesantren masih tetap eksis. Eksistensi pesantren ditengah masyarakat tidak lepas dari kedudukan pesantren sebagai sub kultur. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur (Dalam Rahardjo, 2004:iv), bahwa ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pesantren sebagai sebuah subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara. Kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. Ketiga, sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas.
Persoalan mendasar dan makro yang menjadi tanggung jawab pesantren adalah bagaimana mengubah dan mengembangkan tata pikir dan perilaku masyarakat sekitarnya sesuai dengan tantangan perubahan masyarakat. Bagaimana mereka harus mengembangkan dirinya agar mampu mengemban tanggung jawab tersebut sebagai agen perubahan (agent of change) dan sekaligus sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative).
Gagasan utama pendidikan kepesantrenan pada masa mendatang adalah terletak pada pandangan bahwa setiap manusia mempunyai nilai positif tentang kecerdasan, daya kreatif, dan keluhuran budi. Peran pendidikan pesantren ialah bagaimana nilai positif ini tumbuh menguat. Jika tidak tepat maka bisa tumbuh sifat negatifnya berupa perilaku kasar, tidak toleran, tidak peduli sesama, dan seterusnya. Oleh karena itu, output yang diharapkan dari hasil pendidikan pesantren adalah tumbuhnya pribadi pintar, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang cerdas selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan obyektif. Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentukan opsi yang tepat dan menolak cara-cara yang kasar, dan kurang cerdas. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Atas dasar itu, kedudukan pendidikan pesantren adalah penting dalam rangka membangun kesadaran sistem belajar yang mampu menumbuhkan daya kritis dan kreatif, melahirkan pribadi yang cerdas yang mampu merentangkan jangkauan kesadarannya ke tingkat wilayah sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu, fokus pendidikan kepesantrenan bukanlah semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid semata, melainkan lebih dari itu juga etika sosial dan kemanusiaan. Pembelajaran di pesantren perlu dibebaskan dari sekedar mempelajari doktrin baik-buruk dan benar-salah yang mekanistik, tetapi penumbuhan pengalaman kebertuhanan dalam realitas kehidupan yang multikultural dalam timbangan hidup yang dinamis. Watak integratif seperti itulah yang hendak dicari dan diandaikan dari pengintegrasian sistem pendidikan di dalam pesantren.
Mastuki dan Adhim (2004:4) menyatakan bahwa visi pendidikan kepesantrenan di masa mendatang harus dibangun atas dasar orientasi pada: (1) Komitmen yang kuat dan mampu mendorong inisiatif bagi tumbuhnya kreasi cerdas pihak lain (stakeholders); (2) Melahirkan makna strategis bagi kehidupan anggota organis pesantren; (3) Menentukan standar mutu yang pesantren; (4) Mengintegrasikan pemikiran yang tengah terjadi dengan kondisi masa depan.
Pesantren yang efektif di samping harus mempunyai rencana dan orientasi mondial juga memiliki strategi multidimensi untuk implementasi visinya. Bagi pesantren sendiri dengan fungsinya sebagai agen perubahan (agent of change) dan sekaligus sebagai agen pewarisan budaya (agent of conservative) akan lebih mudah mengiplementasikan visinya di tengah perubahan masyarakat. Apalagi kependidikan pesantren mempunyai filosofis tersendiri dalam menghadapi perubahan, yaitu: “al-muhafadzah ‘ala qadîm al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah”, mempertahankan tradisi lama yang masih relevan dan mengambil ide baru yang konstruktif dan prospektif. Filosofis ini masih relevan dijadikan pegangan bagi pesantren dalam menghadapi tantangan perubahan. Dalam hal ini kependidikan pesantren perlu mengintegrasikan antara tradisi lama dan wawasan modern menjadi satu mainstream yang kokoh, yang kesemuanya dilakukan melalui tahapan penanganan secara strategis. Inilah gagasan pentingnya Pondok Pesantren Terpadu atau Syumuliyah atau Integrated di masa mendatang.
Output yang diharapkan dari pengembangan pendidikan Pondok Pesantren Salafiyah Syumuliyah/Terpadu adalah mendidik manusia yang memiliki kemampuan ilmu agama (tafaqquh fiddîn) dan juga ahli dalam bidangnya secara profesional (rijâl). Misi inilah yang diharapkan dapat memotivasi para santrinya untuk selalu berprestasi, baik dalam bidang ilmu agama maupun keahlian atau keterampilan, sehingga akan melahirkan tiga jenis ulama, yaitu: ulama mutafaqqih (ahli agama), ulama mutakallimin (ahli fikir), dan ulama mutaqowwimin (kemampuan berdiri sendiri). Untuk keperluan itulah, maka diperlukan sistem kurikulum yang terintegrasi (syumuliyah) antara kurikulum pembelajaran umum dan kurikulum pembelajaran kitab-kitab klasik.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Hingga saat ini belum ditetapkan Standar Nasonal Pendidikan untuk satuan Pendidikan Pondok Pesantren. Oleh sebab itu, kajian kebijakan kurikulum Pondok Pesantren dilakukan terhadap Standar Kompetensi Pondok Pesantren dan Menu Pembelajaran Generik 2004/KBK serta permasalahannya baik dokumen maupun implementasinya.
Kurikulum Pondok Pesantren di masa mendatang bersifat integratif, yaitu perpaduan kurikulum pelajaran umum yang sudah distandarkan dan dilaksanakan di pondok pesantren salafiyah berupa Paket A, Paket B dan Paket C dengan system mu’adalah seperti IPA, IPS, Matematika, PKn, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, yang dipadukan dengan pembelajaran kitab klasik khas pondok pesantren (lebih kurang 47 kitab) dengan jenjang: I’dadiyah (persiapan),Ibtida’iyah (dasar), Tsanawiyah (menengah pertama), dan ‘Aliyah (menengah atas).
Melalui kurikulum yang terintegrasi antara kurikulum mata pelajaran umum dan mata pelajaran kitab di Pondok Pesantren Salafiyah, diharapkan dapat membangun citra Pondok Pesantren di masa mendatang, dan sekaligus syahadah/ijazah Pondok Pesantren Salafiyah dapat diakui ke dalam Administrasi Negara, sehingga kalau ada kyai yang mau menjadi anggota DPR atau Kepala Desa atau PNS, dapat diterima cukup dengan menggunakan syahadah pesantren. Bahkan alumni pondok pesantren dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Semoga…..Amiiin.
sumberhttp://utawijaya.wordpress.com/2011/12/02/rancangan-kurikulum-syumuliyah-di-pesantren/
Terima kasih sudah membaca artikel saya. Mabruk
BalasHapus