Perkembangan Pesantren
Diambil dari Tesis: Peran Pesantren dalam Membentuk Karakter
Pemuda[1]
Alwi Shihab (2002), dalam bukunya Islam Inklusif menulis
Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik merupakan orang pertama yang
membangun lembaga pengajian yang merupakan cikal bakal berdirinya pesantren
sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya adalah agar
para santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung
di masyarakat luas. Usaha Syaikh menemukan momuntem seiring dengan mulai
runtuhnya singgasana kekuasaan Majapahit (1293 – 1478 M). Islam pun berkembang
demikian pesat, khususnya di daerah pesisir yang kebetulan menjadi pusat perdagangan
antar daerah bahkan antar negara.
Fatah Syukur (2002), menyampaikan bahwa hasil penelusuran sejarah
ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian
pesantren pada awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa,
seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem,
dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang
menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para pedagang
dan muballig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Hadramaut, Persia, dan
Irak. (Dinamika Pesantren dan Madrasah Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002)
Lembaga pendidikan pada awal masuknya Islam belum bernama pesantrensebagaimana
dikemukakan oleh Marwan Saridjo sebagai berikut: Pada abad ke-7 M. atau abad
pertama hijriyah diketahui terdapat komunitas muslim di Indonesia (Peureulak),
namun belum mengenal lembaga pendidikan pesantren. Lembaga pendidikan yang ada
pada masa-masa awal itu adalah masjid atau yang lebih dikenal dengan nama meunasah
di Aceh, tempat masyarakat muslim belajar agama. Lembaga pesantren seperti yang
kita kenal sekarang berasal dari Jawa. Usaha dakwah yang lebih berhasil di Jawa
terjadi pada abad ke-14 M yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim dari tanah
Arab.
Menurut sejarah, Maulana Malik Ibrahim ini adalah keturunan
Zainal Abidin (cicit Nabi Muhammad saw). Ia mendarat di pantai Jawa Timur bersama
beberapa orang kawannya dan menetap di kota Gresik. Sehingga pada abad ke-15
telah terdapat banyak orang Islam di daerah itu yang terdiri dari orang-orang
asing, terutama dari Arab dan India. Di Gresik, Maulāna Mālik Ibrāhīm tinggal
menetap dan menyiarkan agama Islam sampai akhir hayatnya tahun 1419 M. Sebelum
meninggal dunia,
Maulāna Mālik Ibrāhīm (1406-1419) berhasil mengkader para muballig
dan di antara mereka kemudian dikenal juga dengan wali. Para wali inilah yang
meneruskan penyiaran dan pendidikan Islam melalui pesantren. Maulana Malik
Ibrahim dianggap sebagai perintis lahirnya pesantren di tanah air yang kemudian
dilanjutkan oleh Sunan Ampel.
Mengenai sejarah berdirinya pesantren pertama atau tertua di
Indonesia terdapat perbedaan pendapat di kalangan peneliti, baik nama pesantren
maupun tahun berdirinya. Berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh
Depatremen Agama pada 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di
Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura yang didirikan
pada tahun 1762. Tetapi data Departemen Agama ini ditolak oleh Mastuhu.
Sedangkan menurut Martin van Bruinessen seperti dikutip Abdullah Aly bahwa
Pesantren Tegalsari, salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur merupakan
pesantren tertua di Indonesia yang didirikan tahun 1742 M.12 Perbedaan pendapat
tersebut karena minimnya catatan sejarah pesantren yang menjelaskan tentang keberadaan
pesantren.
Pondok Pesantren merupakan rangkaian kata yang terdiri dari pondok
dan pesantren. Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) yang dipakai dalam
bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. Ada pula
kemungkinan bahwa kata pondok berasal dari bahasa arab “fundūk” yang berarti
ruang tempat tidur, wisma atau hotel sederhana.
Pada umumunya pondok memang merupakan tempat penampungan
sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata
pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang dibubuhi awalan “pe” dan
akhiran “an” yang berarti tempat tinggal para santri. Menurut beberapa ahli,
sebagaimana yang dikutip oleh Zamakhsyari antara lain: Jhons, menyatakan bahwa
kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC.
Berg berpendapat bahwa istilah ini berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa
India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana
ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang
berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau bukubuku tentang ilmu
pengetahuan.
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa dari segi etimologi pondok
pesantren merupakan satu lembaga kuno yang mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan agama. Ada sisi kesamaan (secara bahasa) antara pesantren yang ada
dalam sejarah Hindu dengan pesantren yang lahir belakangan. Antara keduanya
memiliki kesamaan prinsip pengajaran ilmu agama yang dilakukan dalam bentuk
asrama.
Secara terminologi, KH. Imam Zarkasih mengartikan pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai
figur sentral, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran
agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti santri sebagai kegiatan
utamanya.
Pesantren sekarang ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang
memiliki ciri khas tersendiri. Lembaga pesantren ini sebagai lembaga Islam
tertua dalam sejarah Indonesia yang memiliki peran besar dalam proses
keberlanjutan pendidikan nasional. KH. Abdurrahman Wahid, mendefinisikan
pesantren secara teknis, pesantren adalah tempat di mana santri tinggal.
Definisi di atas menunjukkan betapa pentingnya pesantren sebagai
sebuah totalitas lingkungan pendidikan dalam makna dan nuansanya secara
menyeluruh. Pesantren bisa juga dikatakan sebagai laboratorium kehidupan,
tempat para santri belajar hidup dan bermasyarakat dalam berbagai segi dan
aspeknya.
Mengenai asal-usul dan latar belakang pesantren di Indonesia
terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah.
a.
Pendapat yang
menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi
tarekat. Pandangan ini dikaitkan dengan fakta bahwa penyebaran Islam di
Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat dengan
dipimpin oleh kyai. Salah satu kegiatan tarekat adalah mengadakan suluk, melakukan
ibadah di masjid di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan tersebut, kyai
menyediakan ruang-ruang khusus untuk menampung para santri sebelah kiri dan
kanan masjid. Para pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat
mereka juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama
Islam. Aktivitas mereka itu kemudian dinamakan pengajian. Perkembangan
selanjutnya, lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Bahkan dari segi penamaan istilah pengajian merupakan istilah baku yang
digunakan pesantren, baik salaf maupun khalaf.
b.
menyatakan bahwa
kehadiran pesantren di Indonesia diilhami oleh lembaga pendidikan “kuttab”,
yakni lembaga pendidikan pada masa kerajaan bani Umayyah yang semula hanya
merupakan wahana atau lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah. Pada tahap
berikutnya lembaga ini mengalami perkembangan pesat, karena didukung oleh iuran
masyarakat serta adanya rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan
anak didik. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang menyatakan pesantren
diadopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur-Tengah, yaitu al -Azhar di Kairo,
Mesir.
c.
Pesantren yang ada
sekarang merupakan pengambil-alihan dari sistem pesantren orang-orang Hindu di
Nusantara pada masa sebelum Islam. Lembaga ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan
ajaran-ajaran agama Hindu serta tempat membina kader-kader penyebar agama
tersebut. Pesantren merupakan kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami
persentuhan budaya dengan budaya pra-Islam. Pesantren merupakan system pendidikan
Islam yang memiliki kesamaan dengan system pendidikan Hindu-Budha. Pesantren
disamakan dengan mandala dan asrama dalam khazanah lembaga pendidikan
pra-Islam.
Pesantren merupakan sekumpulan komunitas independen yang pada
awalnya mengisolasi diri di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan
(pegunungan). Pada awal berkembangnya, ada dua fungsi pesantren, yaitu sebagai
lembaga pendidikan dan sebagai lembaga penyiaran Islam. Fungsi utama itu masih
melekat pada pesantren, walaupun pada perkembangan selanjutnya pesantren
mengalami perubahan.
Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Sepanjang
abad ke 18 sampai dengan abad ke- 20, pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga
kemunculan pesantren ditengah masyarakat selalu direspon positif, Respon
positif masyarakat tersebut dijelaskan oleh Zuhairani (1992), sebagai berikut:
Pesantren didirikan oleh seorang kiai dengan bantuan masyarakat
dengan cara memperluas bangunan di sekitar surau, langgar atau masjid untuk
tempat pengajian dan sekaligus asrama sebagai asrama bagi anak-anak. Dengan begitu
anak-anak tidak perlu bolak-balik pulang ke rumah orang tua mereka. Anak-anak
menetap tinggal bersama kiai. Mas‟ud (2006)
Perkembangan pesantren terhambat ketika Belanda datang ke Indonesia
untuk menjajah. Hal ini terjadi karena pesantren bersikap nonkooperatif bahkan
mengadakan konforontasi terhadap penjajah. Lingkungan pesantren merasa bahwa sesuatu
yang berasal dari barat dan bersifat modern menyimpang dari ajaran Islam.
Di masa kolonial Belanda, pesantren sangat antipati terhadap
westernisasi dan modernisme yang ditawarkan oleh Belanda. Akibat dari sikap
tersebut, pemerintah kolonial mengadakan kontrol dan pengawasan yang ketat
terhadap pesantren. Pemerintah Belanda mencurigai institusi pendidikan dan keagamaan
pribumi yang digunakan untuk melatih para pejuang militan untuk melawan
penjajah.
[1]
Muh. Ramli, 2015. Peran Pesantren Dalam Membentuk Karakter Pemuda.Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar
0 komentar:
Posting Komentar