Peran Pesantren Dalam Membentuk Karakter Pemuda[1]
Menurut Kozier Barbara peran adalah seperangkat tingkah laku
yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam
suatu sistem. Peran di pengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun
dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang
diharapkan dari seseorang pada situasi tertentu.
Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita
siapa. Peran menjadi bermakna ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas politik
atau sosial. Peran adalah kombinasi posisi dan pengaruh. Menurut Horton dan
Hunt (1993), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki
suatu status. Berbagai peran yang tergabung dan terkait pada satu status ini
oleh Merton dinamakan perangkat peran. Dalam keranmgka besar, organisasi masyarakat,
atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature)
dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta distribusi
sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya.
Teori peran adalah perspektif dalam sosiologi dan psikologi sosial
yang menganggap sebagian besar kegiatan sehari-hari menjadim pemeran dalam
kategori sosial (misalnya ibu, manajer, guru). Setiap peran sosial adalah
seperangkat hak, kewajiban, harapan, norma dan perilaku seseorang untuk menghadapi
dan memenuhi. Model ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang berperilaku
dengan cara yang dapat diprediksi, dan bahwa perilaku individu adalah konteks tertentu,
berdasarkan posisi sosial dan faktor lainnya. Teater adalah metafora sering
digunakan untuk menggambarkan teori peran.
Peran adalah merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang
lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran
dipengaruhi oleh landasan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat
stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada
situasi sosial tertentu. Peran adalah suatu pola sikap, nilai dan tujuan yang
diharapkan dari seseorang yang berdasarkan posisinya dimasyarakat. Posisi ini
merupakan identifikasi dari status atau tempat seseorang dalam suatu sistem dan
merupakan perwujudan aktualisasi diri.
Peran juga diartikan sebagai serangkian perilaku yang
diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu dalam berbagai
kelompok sosial. Peran merupakan salah satu komponen dari konsep diri (gambaran
diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri).
Peran merupakan fungsi seseorang atau sesuatu dalam
kehidupan.(Tim Penyusun, KBBI, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) Pondok pesantren
berasal dari kata pondo dan pesantren. Pondok berasal dari kata bahasa Arab
“funduk” yang berarti hotel atau asrama (Dhofier, 1994). sedangkan pesantren
berasal dari kata santri yang dengan awalan “pe” dan akhiran “an” berarti
tempat tinggal para santri. (Ziemek, 1994). Keduanya mempunyai konatasi yang
sama, yakni menunjuk pada suatu kompleks untuk kediaman dan belajar santri.
Dengan demikian pondok pesantren dapat diartikan sebagai
asrama tempat tinggal para santri. Pondok pesantren pertama kali di Indonesia
dan di Jawa tepatnya di desa Gapura, Gresik didirikan oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim pada abad XV Masehi, yang berasal dari Gujarat, India, Pesantren
mempunyai fungsi penting sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Maulana Malik Ibrahim mendidik sejumlah santri yang
ditampung dan tinggal bersama dalam rumahnya di Gresik. (Saridjo, 1980) Tokoh
yang dianggap berhasil mendidik ulama dan mengembangkan pondok pesantren adalah
Sunan Ampel yang mendirikan pesantren di Kembang Kuning, Surabaya dan pada
waktu pertama kali didirikan hanya memiliki tiga orang santri yaitu Wiryo Suroyo,
Abu Hurairah dan Kyai Bangkuning. Selanjutnya Sunan Ampel mendirikan pondok
pesantren di Ampel Denta, Surabaya, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel,
misinya menyiarkan agama Islam mencapai sukses dan pesantrennya semakin lama
semakin berpengaruh dan menjadi terkenal di seluruh Jawa Timur pada waktu itu. (A.
Sunyoto, 1990).
Kata pesantren sebenarnya berakar dari kata santri yang
menurut Prof. A.H. Johns, kata tersebut adalah bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji.
Sedangkan CC.Berg berpendapat bahwa istilah tesebut berasal dari istilah
shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku‐buku suci agama
Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastri berasal
dari shastra yang berarti bukubuku suci, buku‐buku agama atau buku‐buku agama atau
buku‐buku
pengetahuan (Dhofier, 1994:18). Tetapi, walaupun istilah santri berdekatan
dengan bahasa agama Hindu, namun di Indonesia kata yang kemudian berubah
menjadi kata pesantren ini lazim digunakan dalam khasanah kelembagaan
pendidikan Islam.
Secara terminologis, pesantren adalah lembaga pendidikan dan
pengajaran agama Islam.Umumnya, proses pendidikan pesantren berlangsung secara
non klasikal, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Isalam kepada santri‐santri
berdasarkan kitab‐kitab
yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya
tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. (Prasodjo, 1982:6). Kiai
di sini adalah seorang guru yang menjadi tokoh sentral dalam pesantren, yang
dari kemampuan pribadinya, pertumbuhan suatu pesantren tergantung padanya
(Dhofier, 1994:55). Santri adalah murid‐murid yang sengaja menuntut ilmu
di pesantren, baik ia bermukim di sana ataupun tidak.
Adapun istilah tradisional, ia berasal dari kata tradisi
yang dalam khasanah bahasa Indonesiaberarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan,
ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang (Poerwadarminta,
1982:1088). Ada pula yang menuturkan bahwa tradisi berasal dari kata traditum,
yaitu segala sesuatu yang ditranmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa
sekarang. Dan ketika kata ini berubah menjadi kata tradisional yang berarti
menurut adat, turun‐temurun,
maka sebagaimana diketahui kata tradisional dipergunakan untuk mensifati
sesuatu, misalnya kata tari atau pakaian tradisional, yaitu tari atau pakaian menurut
adat atau yang diwarisi turun temurun. Dalam aspek‐aspek yang lain
kita mengenal istilah‐istilah
upacara tradisional, pengobatan tradisional dan sebagainya (Bawani, 1993:24).
Merujuk kepada pengertian‐pengertian di atas, pesantren tradisional
bisa didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola berdasarkan
pola‐pola
lama yang sengaja dilestarikan, pengajarannya menggunakan kurikulum yang
diadopsi dari warisan masa sebelumnya dan dilakukan secara turun temurun.
Pendidikan Islam, secara kelembagaan, dalam catatan sejarah tampak
dalam bentuk yang bervariasi. Di samping lembaga yang bersifat umum seperti
masjid, terdapat lembaga‐lembaga
lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Secara umum, pada abad keempat
Hijrah dikenal beberapa sistem pendidikan (Madaris AlTarbiyah) Islam. Hasan
Abdul Al‐„Al,
menyebutkan lima sistem dengan klasifikasi sebagai berikut; Sistem Pendidikan Mu‟tazilah,
Sistem Pendidikan Ikhwan Al‐Shafa,
Sistem Pendidkan Bercorak Filsafat, Sistemm Pendidikan Bercorak Tasawwuf, dan
Sistem Pendidikan Bercorak Fiqh. Adapun Hassan Muhammad Hassan dan Nadiyah
Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan lima sistem, masing‐masing; system pendidikan
bercorak teologi, sistem pendidikan bercorak syiah, system pendidkan bercorak
filsafat, sistem pendidikan bercorak tasawwuf, dan sistem pendidikan bercorak
fiqh dan al‐hadis.
Institusi yang dipakai masing‐masing golongan yaitu: (1)
Failusuf, memakai nama Dar AlHikmah, AlMuntadiyat, Hawanit dan Warraaqiin. (2)
Syi’iyyun, memakai nama Dar AlHikmah, Masaajid, (3) Mutashawwif, memakai nama
AlZawaaya, AlRibath, AlMasaajid, dan Halaqat AlDzikr, (4) Mutakallimin,memakai
nama AlMasajid, AlMaktabat, Hawanit, Alwarraqin, dan AlMuntadiyat, dan (5)
Fuqaha’ dan AlMuhadditsin,mereka memakai nama AlKatatib, AlMadaris, dan AlMasajid.
Masing‐masing
sistem di atas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya memanfaatkan
masjid. Menurut Hassan dan Nadiyah institusi‐institusi itu terkait dengan
pendidikan‐pendidikan
yang dilakukan dan aliran‐aliran
pemikiran Islam yang berkembang di dalamnya (Maksum, 1999:52). Cyril Glasse,
dalam ensiklopedi Islamnya menulis bahwa dar
Alhikmah adalah sebuah akademiyang didirikan khalifah
Fathimiyah , AlHakim (w.411/1021), di Kairo sebagai perluasan istananya,tempat
ini juga tempat berkumpulnya kalangan cendekiawan dan sekaligus sebagai pusat
penyiapan parada‟i (propagandis) untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah
(Glasse, 1999:71).
Adapun Zawiyah/Zawaya, di Afrika Utara istilah ini berarti
sebuah tempat ibadah/sebuah masjid kecil, sebuah tempat pengasingan untuk kegiatan
keagamaan, atau secara khusus tempat pertemuan para sufi untuk melaksanakan doa
dan dzikir (Glasse, 1999:447). Sedangkan Ribath bersesuaian dengan zawiyah,
tempat pertemuan para sufi. (Glasse, 1999:343).
Tempat‐tempat
di atas kalau dicermati, awalnya bukan sebagai tempat yang secara khusus
dibangun untuk sarana pendidikan, namun lebih dari sebuah implikasi dari fungsi
masjid sebagai sentrum kegiatan masyarakat muslim, karena implikasi itu terus
bertambah sehingga masjid menjadi multifungsi. Seiring dengan perkembangan itu peribadatan
di masjid menjadi terganggu oleh suara bising dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh
proses pengajaran, sehingga dibangunlah kuttabkuttab sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan dan model inilah yang diadopsi oleh penyebar agama
Islam di Indonesia menjadi pondok pesantren. Sebagaimana dikatakan George
Makdisi, bahwa pesantren di Indonesia menyerupai madrasah‐madrasah di Baghdad
pada abad 11‐12
M, terdiri dari masjid, asrama/pondok, dan kelas belajar (Maksum, 1999:80).
Dengan akar sejarah seperti itu, sebagian sarjana di
Indonesia berasumsi bahwa tradisi pendidikan Islam di Indonesia tidak
sepenuhnya khas Indonesia, kecuali hanya menambahkan muatan dan corak keislaman
terhadap terhadap tradisi pendidikan yang sudah ada. Bahkan masuknya Islam
tidak mengubah format penyelenggaraan yang sebelumya sudah ada dan mentradisi,
namun yang paling pokok adalah materi yang dipelajari, bahasa, dan latar
belakang pelajar‐pelajar
(Sumanjuntak, 1973:24). Namun satu hal yang sepertinya sangat tersepekati
adalah bahwa sejarah berdirinya pesantren sangat erat hubungannya dengan
sejarah masuknya Islam di Indonesia (Bimbaga, 2003:7).
Secara historis, pesantren telah mendokumentasikan berbagai sejarah
bangsa Indonesia, baik sejarah sosial budaya masyarakat Islam, ekonomi maupun
politik bangsa Indonesia. sejak awal penyebaran Islam, pesantren menjadi saksi
utama bagi penyebaran Islam Indonesia. Pesantren mampu membawa perubahan besar
terhadap persepsi halayak nusantara tentang arti penting agama dan
pendidikan.(Mujib, 2006). Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pesantren adalah
menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal
tafaqqahuh fi al-din, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan
turut mencerdaskan masyarakat Indonesia dan melakukan dakwah menyebarkan agama
Islam serta benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak. (Depertemen Agama,
2004)
Sejalan dengan fungsi tersebut, materi yang diajarkan dalam pondok
pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab
klasik yang berbahasa Arab atau lebih dikenal dengan kitab kuning. Pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat (indigenous) pada masyarakat
muslim Indonesia, dalam perjalanannya mampu menjaga dan mempertahankan
keberlangsungan dirinya (survival system) serta memiliki model pendidikan multi
aspek Santri tidak hanya dididik menjadi seseorang yang mengerti ilmu agama,
tetapi juga mendapat tempaan kepemimpinan yang alami, kemandirian,
kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap positif lainnya.
Modal inilah yang diharapkan melahirkan masyarakat yang berkualitas dan mandiri
sebagai bentuk partisipasi pesantren dalam menyukseskan tujuan pembangunan
nasional sekaligus berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sesuai yang diamatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945. (Haedari, 2004)
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki akar kuat
(indigenous) pada masyarakat muslim Indonesia, dalam perjalanannya mampu
menjaga dan mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system) serta
memiliki model pendidikan multi aspek. Santri tidak hanya dididik menjadi
seseorang yang mengerti ilmu agama, tetapi juga mendapat tempaan kepemimpinan
yang alami, kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan
sikap positif lainnya. Modal inilah yang diharapkan melahirkan masyarakat yang berkualitas
dan mandiri sebagai bentuk partisipasi pesantren dalam menyukseskan tujuan
pembangunan nasional sekaligus berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sesuai
yang diamanatkan oleh Undangundang Dasar 1945.
Pesantren jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah
muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua dan dianggap sebagai
produk budaya Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dimulai
sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara.
Pesantren dalam lintasan sejarah bangsa dinyatakan sebagai lembaga
pendidikan asli Indonesia. beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan
ini semakin teratur dengan munculnya tempat pengajian. Bentuk ini kemudian
berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap para santri yang kemudian
disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu
pesantren merupakan satusatunya lembaga pendidikan yang terstruktur sehingga pendidikan
ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia
mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan
keagamaan.
[1]
Muh. Ramli, 2015. Peran Pesantren Dalam Membentuk Karakter Pemuda.Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusTshirt Dakwah Online
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Buktikan Cintamu dengan Menikah