Peran
Syekh H. Zaenuddin Dalam Syiar Islam Di Desa Bantarkalong Kecamatan Cipatujah
Kabupaten Tasikmalaya
Kuswandi
Program Studi Pendidikan
Sejarah-FKIP-UNIGAL
artefak@unigal.ac.id
ABSTRAK[1]
Syekh
H. Zaenuddin adalah salah satu syekh yang menyebarkan ajaran Islam ke bagian
selatan
Tasikmalaya,
tepatnya di Desa Bantarkalong. Syekh Zaenuddin merupakan orang yang dianggap
mempunyai
derajat yang tinggi. Di dalam menyebarkan syiar Islam di Bantarkalong dengan
cara
berdakwah.
Kehadiran Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam mendapat sambutan
yang
baik oleh masyarakat Bantarkalong. Ia adalah seorang yang zuhud, pintar, dan
terkenal
paling
berani. Metode yang digunakan adalah metode histories dengan langkah-langkah 1)
pemilihan
topik, 2) pengumpulan sumber, 3) Verifikasi (kritik sejarah), 4) interpretasi,
dan 5)
Penulisan.
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peran Syekh H. Zaenuddin layak untuk
dijadikan
tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai warga negara dan bangsa yang
baik
tentu
saja selalu ada rasa memiliki dan tanggungjawab atas perjuangan Syekh H.
Zaenuddin
dalam
menjalankan syiar Islam di selatan Tasikmalaya khususnya di desa Bantarkalong.
Kata
Kunci: Peran Syekh H. Zaenuddin, Syiar Islam, Budaya dan Kesenian
PENDAHULUAN
Beberapa literatur menyatakan bahwa proses masuknya agama
Islam ke Nusantara dibawa melalui orang-orang dari Gujarat, Persia, dan Arab
disyiarkan dengan cara damai tanpa paksaan, yang pada gilirannya syiar tersebut
dilakukan oleh para wali, terutama di Pulau Jawa yang dikenal dengan nama Wali
Songo (semilan wali).
Di samping itu menurut berita Tionghoa pada tahun 1415 M di
tanah Jawa sudah banyak orang Islam yang di bawa oleh seorang mubaligh Islam
terkenal, yaitu Maulana Malik Ibrahim, sedang menurut berita Portugis pada
tahun 1498 M. di beberapa daerah pesisir Jawa sudah ada yang memeluk ajaran
Islam, kemudian Islam masuk ke Jawa Barat sekitar tahun 1511 M, yang di bawa
oleh para pedagang dari Malaka.
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto
(1990: 72) dalam bukunya Sejarah Nasional Indonesia menyatakan bahwa:
Penyebaran Islam di Jawa Barat berikutnya yang secara meluas
adalah oleh Sunan Gunung Jati. Secara kronologis Ketika beliau datang ke Jawa
Barat tepatnya di Sunda Kelapa, di sana masih merupakan kekuasaan Hindu di
bawah Kerajaan Pajajaran, sedangkan sebagian besar wilayah nusantara pada masa
itu dikuasai oleh kerajaan Demak. Atas perjuangan Fatahillah dengan seizin raja
Demak yaitu Sultan Trenggana maka tersebar agama Islam disana pada tahun 1527
M. Peristiwa ditaklukannya Sunda Kelapa dari kekuasaan Portugis ke Fatahilah,
maka sebagai peringatan, digantilah nama Sunda Kelapa dengan nama Jaya Karta.
Kemudian satu tahun berikutnya terjadi penaklukan seluruh daerah Sunda Kelapa
Banten, dan Cirebon.
Tersebarnya umat Islam di nusantara tidak lepas dari peranan
Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam. Setelah Wali Songo, maka perjuangan
dilanjutkan oleh para muridmurid dari Wali Songo itu sendiri yang berada di
masing-masing daerah. Kedatangan Islam di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan
dengan proses kedatangan masuk dan berkembangnya Islam di nusantara secara
integral. Hal ini disebabkan karena Cirebon dan Banten yang dianggap sebagai
pusat penyebaran agama Islam dan kekuasaan Islam di Jawa Barat. Cirebon dan
Banten posisinya berada pada lokasi yang strategis baik secara ekonomis maupun
politik. Selain itu, letak Cirebon dan Banten berada pada jaringan perdagangan
internasional yaitu perdagangan jarak jauh (long distance trade ) yaitu pergadangan
Jalur Sutra.
Proses penyebaran dan perluasan Islam di Jawa Barat lebih
banyak dikisahkan melalui dua gerbang penyebaran, yaitu Cirebon dan Banten.
Kedua daerah itu dikuasai oleh seorang sultan yang juga seorang ulama yaitu
Sunan Gunung Djati. Karena dua kekuasaan yang diperankannya yaitu kekuasaan
politik dan agama, dia mendapatkan gelar Ratu Pandita Dibawah kepemimpinannya
dilakukan penyebaran agama Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda dari dua pusat
kekuasaan Islam, yaitu Cirebon dan Banten (Ridin Sofwan, 2000: 44).
Proses Islamisasi di Jawa Barat, tidak dapat dilepaskan dari
gerakan Islamisasi Jawa yang dilakukan oleh Wali Songo secara integral. Penyebaran
agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari perannan tokoh Sunan Gunung Djati
seorang wali yang juga seorang sultan. Selain menyebarkan agama Islam, Sunan
Gunung Djati telah menjadi peletak dasar bagi kekuasaan politik Islam di Jawa
Barat yang meliputi Banten dan Cirebon. Sementara itu menurut Ridin Sofwan
(200: 45) dalam bukunya Islamisasi di Jawa mengatakan bahwa sebelum Sunan
Gunung Djati menyebarkan Islam di Tatar Sunda, sebenarnya di Cirebon sudah ada
gerakan penyebaran agama Islam yang dipelopori oleh Haji Purwa, begitu pula Syekh
Quro di Karawang, Syekh Datuk Kahfi di Cirebon, dan Syekh Zaenuddin di Tasikmalaya.
Syekh H. Zaenuddin adalah salah satu syekh yang menyebarkan
ajaran Islam ke bagian selatan Tasikmalaya, tepatnya di Desa Bantarkalong.
Syekh Zaenuddin merupakan orang yang dianggap mempunyai derajat yang tinggi. Di
dalam menyebarkan syiar Islam di Bantarkalong dengan cara berdakwah. Kehadiran
Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam mendapat sambutan yang baik
oleh masyarakat Bantarkalong. Ia adalah seorang yang zuhud, pintar, dan
terkenal paling berani.
Setelah Syekh H. Zaenuddin wafat, beliau dimakamkan
bersamaan dengan ke empat orang istrinya yang terletak di Desa Bantarkalong
Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Makam tersebut berada pada
puncak sebuah bukit kurang lebih 100 meter di atas jalan raya Cipatujah.
Disekeliling makam Syekh H. Zaenuddin terdapat banyak pekuburan, yang batu
nisannya berserakan tidak beraturan. Menurut cerita, kuburan-kuburan tersebut
adalah kuburan para santri Syekh H. Zaenuddin, namun tidak diketahui secara
pasti dari mana para santri itu berasal.
KAJIAN PUSTAKA
1. Penyebaran
Islam di Jawa Barat Melalui Cirebon
Cirebon sebagai kota wali dan sekaligus pusat penyebaran
agama Islam di Jawa Barat masih menyimpan misteri, terutama yang berhubungan
dengan sumber-sumber sejarah untuk menjelaskan bentangan sejarah Cirebon yang
cukup panjang. Menurut Nina Herlina Lubis (2000: 14) dalam bukunya Sejarah
Kota- Kota Lama di Jawa Barat mengatakan bahwa:
Asal-usul kota tersebut lebih banyak ditemukan dalam
historiografi tradisional yaitu dalam bentuk manuskrip yang ditulis pada abad
18. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembangan Cirebon sudah dimulai pada abad
15 dan 16 seiring dengan gerakan penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para wali.
Sejarah mengenai Cirebon dapat dilihat dalam beberapa naskah
di antaranya adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah
Kasultanan Cirebon, babad walangsungsang, Pustaka rajyarajya I Bhumi Nusantara,
Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawa Dwipa, Pustaka Negara Kertabumi, Wawacan Sunan
Gunung Djati dan lain sebagainya. Banyak para ahli atau peneliti meragukan
sumbersumber tersebut dan dianggap sebagai sumber sekunder. Tetapi sebelum ada
sumber lain yang lebih bisa lebih dipercaya, sumber tadi bisa dipergunakan
meskipun sumber sekunder untuk menjelaskan bentangan sejarah perjalanan Islam di
Jawa Barat terutama sejarah Cirebon.
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama
Pasambangan yang letaknya kurang lebih 5 KM dari kota Cirebon sekarang. Sedangkan
kota Cirebon sekarang asalnya bernama Lemah Wungkuk yaitu sebuah desa kecil
yang merupakan pemukiman masyarakat muslim yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang.
Menurut Pangeran Suleiman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon,
Ki Gedeng Alang-Alang oleh penguasa Pajajaran diangkat menjadi kepala pemukiman
masyarakat Muslim Lemah Wungkuk dengan gelar Kuwu Cerbon. Adapun batas wilayahnya
meliputi Sungai Cipamali sebelah Timur, Cigugur sebelah Selatan, Pegunungan Kromong
sebelah Barat, dan Junti (Indramayu) sebelah Utara.
Berdasarkan sumber lokal yang tergolong tradisional, pendiri
Kesultanan Islam Cirebon adalah Sunan Gunung Djati. Mengenai hal ini dapat
dilihat dalam Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, ataupun Pustaka
Rajyarajya I Bhumi Nusantara. Pada umumnya sumber historiografi tradisional
tersebut memulai menjelaskan sejarah Cirebon dari masa akhir Prabu Siliwangi
sebagai penguasa Pajajaran.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (1983: 29) dalam bukunya
Tentang Sajarah Banten mengatakan bahwa:
Setelah Sunan Gunung Djati jadi penguasa Kerajaan Islam
Cirebon, secara damai ia mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada saat
itu, beribu-ribu orang berdatangan kepada Sunan Gunung Djati untuk berguru
agama Islam. Pada awalnya kepala-kepala daerah di sekelilingnya mencoba
menentang gerakan itu. Tetapi mereka melihat tentangannya tidak berguna, mereka
membiarkan diri mereka sendiri terseret oleh gerakan tersebut. Para bupati seperti
Galuh, Sukapura, dan Limbangan menerima dan memeluk agama Islam dan menghormati
Sunan Gunung Djati. Para penguasa di sekitar Cirebon menganggap bahwa Sunan
Gunung Djati adalah sebagai peletak dasar bagi dinasti sultan-sultan Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati
menggunakan sistem desentralisasi. Adapun pola kekuasaannya Kerajaan Islam Cirebon
menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana pelabuhan mempunyai peranan yang
sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi penunjang yang vital.
Setelah Cirebon berada di bawah kekuasaan kesultanan Islam
yang dipimpin oleh
Syarif Hidayatullah atau Sayid Kamil, atau
Syeikh Djati, atau Susuhunan Djati, maka kota
tersebut tumbuh menjadi pusat kekuatan politik
Islam di Jawa Barat atau Tatar Sunda. Selain itu
Cirebon dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah selain sebagai
pusat kekuasaan Kesultanan Islam juga merupakan pusat penyebaran agama Islam
dan sekaligus sebagai pusat perdagangan yang menjadi lintasan perdagangan internasional
yaitu lintasan perdagangan jarak jauh (long dintance trade line) yang dikenal perdagangan
Jalur Sutra. Dengan demikian maka dalam waktu singkat dibawah kekuasaan Sunan
Gunung Djati Cirebon tumbuh menjadi sebuah kota metropolis.
Sebagai sebuah kota metropolis, Cirebon mempunyai karakteristik
di antaranya sebagai berikut:
a. Tumbuhnya
kehidupan kota yang bernafaskan Islam dengan pola penyusunan masyarakat serta
hirearki sosial yang kompleks.
b. Berkembang
arsitektur baik yang sacral maupun yang profan seperti Mesjid Sang Cipta Rasa,
Keraton, dan bangunan lainnya yang mengadaptasi rancang bangun dan ornamen
pra-Islam.
c. Tumbuhnya
karya seni baik itu seni pahat, seni lukis, maupun sastra Islam. Hal ini bisa
dilihat dari hasil karya seni seperti seni batik, seni musik, kaligrafi, dan
karya sastra serta lainnya.
d. Tumbuh
subur pendidikan Islam yaitu pesantren di sekitar Cirebon.
e. Cirebon
masuk dalam jaringan penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh Wali Songo.
Cirebon sebagai sebuah pusat kekuasaan politik dan dakwah
berada di antara pusat-pusat kekuasaan lainnya. Untuk menjelaskan mengenai hal
tersebut perlu dijelaskan bagaimana geostrategi Cirebon pada abad ke 16
terutama aspek ekonomi dan politik. Hal ini perlu dijelaskan karena peran
Cirebon sebagai pusat kekuasaan dan dakwah Islam merupakan bagian inheren dari
sosialisasi Islam di Jawa Barat.
Secara ekonomis Kesultanan Islam Cirebon yang dipimpin oleh
Sunan Gunung Djati berada di dalam jalur internasional perdagangan jarak jauh
yaitu perdagangan jalur sutra. Dengan letaknya yang strategis secara ekonomis, maka
di kesultanan Cirebon tumbuh dan berkembang pemukiman bagi para pelaku ekonomi baik
yang berasal dari dalam maupun luar Cirebon atau pendatang. Hal inilah yang
mendorong Cirebon muncul kota bandar dan merupakan salah satu bandar utama di
pantai Utara
Jawa. Letak Kesultanan Cirebon
secara diametral berada pada jalur antara Banten dan Jayakarta di bagian Barat
dan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Giri di bagian Timur. Dengan demikian
posisi bandar Cirebon berada di tengah jaringan ekonomi perdagangan dan
penyiaran Islam baik ke Barat maupun ke Timur.
2. Penyebaran
Islam di Jawa Barat Melalui Banten
Sejarah Banten tidak dapat dilepaskan dari sejarah Cirebon.
Hal ini disebabkan karena menurut beberapa sumber bahwa ada hubungan yang erat
secara historis antara Banten dan Cirebon. Masalah ini berhubungan dengan peran
seorang tokoh penyebar agama Islam yaitu Sunan Gunung Djati yang telah dianggap
sebagai peletak dasar bagi lahirnya dua kesultanan Islam di Jawa Barat
sekaligus yaitu Kesultanan Islam Cirebon dan Banten.
Sejarah Islam di Banten dimulai pada fase akhir dari
Kerajaan Hindu Pajajaran yang saat itu sudah mulai menampakan tanda-tanda kemundurannya.
Pada saat kekuasaan Hindu Pajajaran sudah mulai melemah, muncul gerakan dakwah Islam
yang dipelopori oleh Wali Sango.
Pada saat Kerajaan Pajajaran menuju pada titik kehancuran,
di Banten telah banyak penduduk yang memeluk agama Islam berkat gerakan dakwah
yang dilakukan oleh Sunan Ampel. Banten pada saat itu telah menjadi pelabuhan
yang ramai dikunjungi oleh para pedagang baik lokal maupun internasional.
Seiring dengan meningkatnya perdagangan antara wilayah Timur dan Barat maka
saat itu Banten menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Arab, Cina,
India dan Perlak serta para mubaligh.
Menurut Halwani Michrob (1993: 50), dalam bukunya Sejarah
Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten mengatakan bahwa:
Penyebaran Islam di Banten telah dimulai sejak abad ke 7 dan
8 Masehi. Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah ke Banten untuk mengajarkan
agama Islam, didaerah itu sudah ada komunitas masyarakat Muslim yang telah
mempelajari agama Islam dibawah bimbingan Sunan Ampel. Selain itu menurut Afif
Amrullah (1990: 44)di sana sudah ada mesjid jami tempat beribadah orang-orang
yang telah memeluk agama Islam di Banten yaitu mesjid di daerah Pacinan.
Kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten terjadi pada saat dia
sedang menuju ke Jawa untuk tujuan menyebarkan agama Islam setelah terlebih dahulu
singgah di Pasai. Banten pada saat itu merupakan vassal kerajaan Demak.
Kedatangan Sunan Gunung Djati yang pada saat itu masih bernama Syarif
Hidayatullah atau Sayid Kamil diiringi oleh Dipati Keling dan para pengawalnya
berjumlah 98 orang. Ketika tiba di Banten, Syarif Hidayatullah bertemu dengan
Ali Rakhmatullah atau dikenal dengan Sunan Ampel yang sedang mengajarkan agama
Islam pada penduduk. Banten Syarif Hidayatullah kemudian berguru kepada Sunan
Ampel.
Setelah cukup lama tinggal di Banten, Syarif Hidayatullah
pergi ke Demak bersama dengan Sunan Ampel. Dari Demak dia pergi ke Cirebon
setelah mendapat tugas dari para wali untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa
bagian Barat. Di Cirebon Syarif Hidayatullah berhasil menyebarkan agama Islam
dan menjadi penguasa kerajaan Islam Cirebon menggantikan uwaknya Pangeran Cakra
Buana.
Sunan Gunung Djati terus membina teritorial wilayah
kekuasaannya sambil berdakwah mengajarakan agama Islam ke wilayah peda-laman
seperti ke Ukur Cibaliung, Timbanganten, Pasir Luhur, Batu Layang dan
Pegadingan. Gerakan penyebaran agama Islam terus ke wilayah Banten yang saat
itu bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran.
Kedatangan Sunan Gunung Djati ke Banten atas permintaan
utusan Banten yang datang ke Cirebon untk mengajarkan agama Islam di Banten.
Menurut Sunarjo (1983) dengan persetujuan Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah
Iman Al Jawi yang saat itu menjadi Raja di Kerajaan Islam Cirebon, maka Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Djati pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam.
Pada saat Islam sudah menyebar di Banten, dan mempunyai
tonggak serta landasan yang cukup kuat dengan adanya legitimasi dari Bupati
Kawung Anten, Syarif Hidayatullah bulang ke Cirebon. Kepulangannya ke Cirebon, karena
Raja Kerajaan Islam Cirebon sangat membutuhkan tenaga Sunan Gunung Djati. Sepulangnya
di Cirebon Sunan Gunung Djati diserahi tugas untuk memimpin Kerajaan Islam Cirebon
oleh Raja Sri Mangana Pangeran Cakra Buana Haji Abdullah Iman al-Jawi karena usianya
sudah tua. Naiknya Sunan Gunung Djati sebagai Raja di Kerajaan Islam Cirebon telah
mengukuhkan kekuasaannya atas dua wilayah Islam yaitu Cirebon dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Djati diangkat menjadi Sultan di
Kerajaan Islam Cirebon, yang dihadapi olehnya pada saat itu baik di Banten
maupun Cirebon adalah Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkoalisi dengan Portugis untuk
menghadapi kekuasaan Islam. Pada saat itu Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis
mempunyai dan menguasai bandar-bandar yang cukup strategis seperti Bandar
Banten, Sunda Kelapa, Pontang, Cikande, Tanggerang dan Cimanuk.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugistahun 1511, dan Pasai
tahun 1512, maka pusat perdagangan pindah dari kedua tempat itu ke Bandar
Banten. Hal ini disebabkan karena para saudagar Islam yang terdiri dari orang
Arab, Cina dan Persia memindahkan jalur perdagangannya dari Malaka ke Jawa
Barat yaitu Banten.
Pada tanggal 8 Oktober 1526 Syarif Hidayatullah memindahkan
pusat pemerintahan Banten dari Banten Girang ke Banten dekat Pelabuhan yang
kemudian dikenal dengan “Surosowan“. Menurut Halwani Michrob (1993) dalam
bukunya Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten mengatakan bahwa.
Pemindahan
pusat kekuasaan itu berhubungan dengan situasi politik dan ekonomi Asia Tenggara
saat itu di mana Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis sehingga para
pedagang segan melakukan hubungan dagang dengan Portugis dan memindahkan jalur
perdagangannya dari Malaka ke Selat Sunda yaitu Banten.
Setelah menaklukan Banten, maka dilakukan penyerangan
terhadap Batavia dengan kekuatan tambahan bantuan dari Banten di bawah pimpinan
Hasanudin. Penyerangan ke Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah. Setelah lewat
pertempuran sengit, maka Kerajaan Sunda dan Portugis dapat dipukul mundur dari
Sunda Kelapa dan akhirnya pada tanggal 22 Juni 1527 dapat dikuasai dan diganti
namanya menjadi Jayakarta. Setelah dapat merebut Sunda Kelapa, maka atas
persetujuan Sultan Demak Fatahillah diangkat menjadi Dipati Jayakarta.
Pemimpin pasukan yang memimpin penyerang terhadap Sunda
Kelapa adalah Fatahillah. Fatahillah mempunyai gelar Maulana Fadhilah Khan
al-Pasey Ibnu Maulana Mahdar Ibrahim Al Gujarat. Dia dilahirkan di Pasai pada
tahun 1490 Masehi. Ayahnya bernama Maulana Mahdar Ibrahim dari Gujarat India yang
tinggal di Basem Pasai. Ayahnya mempunyai keturunan yang sama dengan Syarif Hidayatullah
yakni Nurul Amin. Selain itu Fatahillah juga merupakan menantu dari Sunan Gunung
Djati.
Sebelum penyerangan ke Sunda Kelapa, Fatahillah tinggal di
Demak. Di sini dia mempunyai dua orang isteri. Pertama adalah Nyai Ratu Ayu
puteri Sunan Gunung Djati janda dari Pangeran Sabrang Lor Sultan Demak. Isteri
kedua adalah Nyai Ratu Pembayun, puteri Sultan Demak Raden Patah janda Pangeran
Jaya Kelana putera Sunan Gunung Djati. Dengan demikian hubungan antara
Fatahilah dengan Sunan Gunung Djati adalah menantu dari perkawinan dengan
puterinya dan suami dari menantunya.
Setelah berhasil merebut Banten, Sunda Kelapa dan menggantinya
menjadi Jayakarta, maka Sunan Gunung Djati yang saat itu sudah tua menyerahkan
kekuasaan Kesultanan Islam Cirebon kepada Pageran Pasarean, kemudian Banten
kepada Maulana Hasanudin, dan Jayakarta kepada Fatahillah.
Setelah Sultan Hasanudin menjadi penguasa Kesultanan Islam
Banten, maka terus dilakukan pengembangan-pengembangan baik itu agama, wilayah,
politik maupun ekonomi. Langkah Sultan Hasanudin untuk membangun dan
mengembangkan Banten lebih menitikberatkan pada pengembangan sektor
perdagangan. Sarana dan prasarana terus
dibangun uhtuk melengkapi dan menunjang kekuasaannya.
Banyaknya para pedagang muslim yang datang ke Banten selain
aktif berdagang juga berdakwah, maka selain pusat kekuasaan kota Banten itu
penjadi pusat dakwah atau penyiaran agama Islam. Dengan demikian, Banten selain
sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian Barat juga Sumatera bagian
Selatan terutama Lampung.
Pada awal kekuasaannya, Sultan Hasanudin memproklamirkan
bahwa Kerajaan Islam Banten berada di bawah kekuasaan Kerajaan Islam Demak atau
merupakan vassal dari Demak, Hal ini didasarkan karena Banten dapat direbut dari
Kerajaan Sunda Pajajaran dan dapat diislamkan dengan bantuan Raja Demak. Tetapi
perkembangan berikutnya Sultan Hasanudin pada tahun 1568 memaklumkan bahwa Kerajaan
Islam Banten membebaskan diri dari Kerajaan Demak.
Menurut Hoesen Djajadiningrat (2001) Tindakan Hasanudin
melepaskan Kerajaan Islam Banten dari pengawasan Demak merupakan tindakan yang
dianggap penting. Hal ini disebabkan selain untuk kemajuan pengembangan Banten,
juga untuk menghindarkan diri dari kericuhan yang selalu terjadi pada keluarga kesultanan
Demak yang masih merupakan keluarganya. Menurut De Graff (1989: 151) Hubungan keluarga
antara Banten dan Demak disebabkan oleh perkawinan antara Sultan Hasanudin
dengan salah seorang puteri Kesultanan Demak yang dikaruniai beberapa orang anak.
Sultan Hasanudin bertahta di Kerajaan Islam Banten selama 18 tahun.
Sultan Hasanudin mempunyai anak tiga orang yaitu Puteri
Pembayun, Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya yang tinggal di Jepara dengan bibinya
Ratu Kalinyamat yang nantinya menjadi Pangeran Jepara. Setelah Hasanudin meninggal
dunia, maka Kesultanan Banten diserahkan kepada Pangeran Yusuf. Menurut Hamka (1976:
181) Pemerintahan Maulana Yusuf sebagaimana ayahnya merupakan sultan yang
memimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama.
Struktur masyarakat dan kota
Banten, banyak dijelaskan oleh beberapa sumber baik itu sumber lokal maupun
asing. Informasi tertua mengenai struktur masyarakat Banten diperoleh dari Yans
Kaerel seorang anggota armada Belanda yang berlabuh di Banten pada bulan Nopember
1596 di bawah pimpinan Cornelis de Hautman.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode sejarah atau historis,
yang meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, perubahan ataupun gagasan yang
tumbuh di masa lalu, untuk menemukan generasi yang berguna dalam memahami kenyataan-kenyataan
sejarah yang juga berguna untuk memahami situasi sekarang dan meramalkan
perkembangan yang akan datang.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif
yang bertujuan untuk memahami keberadaan dan keterkaitan antara berbagai gejala
dalam pengungkapan sejarah tentang peran Syekh H. Zaenuddin di DesaBantarkalong
Kecamatan Cipatujah KabupatenTasikmalaya.
Penulis menempatkan realitas tentang peranan Syekh H.
Zaenuddin dalam syiar agama Islam khususnya di daerah Tasik Selatan
(Bantarkalong) ke dalam konsep-konsep yang dikembangkan oleh para pakar
sejarah. Konsep kualitatif dimanfaatkan untuk menciptakan konsep-konsep ilmiah
sekaligus berfungsi mengadakan klarifikasi mengenai peranan Syekh H. Zaenuddin
dalam syar Islam. Keseluruhan rangka operasional di Lapangan secara sistematis
sebagai usaha dalam menemukan jawaban berbagai masalah yang dijadikan fokus
dalam penelitian ini.
Metode yang akan penulis gunakan yaitu metode historis.
Metode historis merupakan proses kerja untuk menuliskan kisah-kisah masa lampau
berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan (Notosusanto, 1978: 36).
Adapun langkah-langkah metode histories sebagai berikut:
1. Heuristik
Langkah heuristik adalah mengumpulkan sumber sejarah,
meliputi benda, bangunan, sumber tertulis atau monografi desa, dan sumber lisan
berupa wawancara dengan para pelaku sejarah. Menurut para ahli metodologi
sejarah, sumber sejarah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: sumber benda, sumber
tertulis, dan sumber lisan.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan
sumber primer, atau sumber yang langsung menyaksikan peristiwa dengan mata
kepala sendiri. Pada saat ini sumber tidak saja langsung disaksikan oleh mata
kepala sendiri, tetapi juga menjadi pelaku secara langsung. Didalam penelitian
ini peneliti lebih banyak mengumpulkan data dengan cara wawancara dari sumber
primer, yang secara langsung menjadi pelaku atau sumber sejarah.
2. Kritik
dan Verifikasi
Kritik dan verifikasi yang terdiri dari kritik ekstern dan intern.
Kritik ekstern dilakukan untuk mendapatkan kesejatian sumber, sedangkan kritik
intern untuk menghasilkan kredibilitas sumber.
3. Interpretasi
Interpretasi atau sintesa pada langkah ini peneliti
merangkai dan menghubungkan hasil penelitian dari berbagai sumer sehingga
menjadi satu kesatuan yang diperlukan dan mendukung materi penelitian diambil
untuk dipadukan dengan yang lain.
4. Historiografi
Historiografi yaitu penyusunan
data yang telah terseleksi serta telah ditafsirkan ke dalam suatu jalinan cerita
yang kronologis, sistematis, dialogis, dan historiografi merupakan tahap
terakhir dari metode sejarah, disini akan dilakukan penyampaian sintesa dalam
bentuk suatu kisah atau cerita.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Peran
Syekh H. Zaenuddin dalam Syiar Agama Islam
Syekh H.
Zaenuddin dalam menyebarkan agama Islam di Tasik Selatan khususnya Desa Bantarkalong
melalui dakwah. Syekh H. Zaenuddin mempunyai cara yang unik untuk menemukan
tempat sebagai pusat dakwahnya. Beliau sampai ketempat yang dimaksud menanam
padi dahulu diladang (ngahuma). Apabila hasil panen sama dengan jumlah benih
yang ditanamnya, maka disitulah tempataya. Dan tampat itu namanya sekarang bernama
Bantarkalong.Sebelumnya beliau pernah menanam benih di daerah Cisurupan Desa
Nagrog namun hasilnya jauh melebihi jumlah benih yang ditanam. Karena hasilnya
melimpah daerah Cisurupan tidak jadi sebagai pusat dakwahnya. Sampai sekarang
hasil yang melimpah masih sering terjadi. Sebagai rasa syukur kepada Alloh
penduduk Cisurupan mengadakan Ianduri (hajatan) selama dua hari dan ini
dijadikan tradisi. (Adi, 2011)
Syekh H.
Zaenuddin pernah ke Cisurupan daerah tersebut dijadikan daerah pasidkah(daerah
khusus) di bawah Bantarkalong. Dari perantauan mencari tempat sebagai pusat
dakwahnya, sampai sekarang di Bantarkalong berkembang kepercayaan. Semua orang
yang hidup di Bantarkalong tidak akan ada orang kaya dan begitu pula tidak akan
ada orang yang kekurangan wallohualam. Ditempat inilah beliau mendirikan
pesantren dan misi dakwahnya (sekarang mesjid kaum Bantarkalong) terjadi pada
akhir abad 17.
Kehadiran Syekh
H. Zaenuddin di Bantarkalong mendapat sambutan sangat baik dari kaum pribumi
pada waktu itu, ini terbukti dengan diwakafkannya sebidang tanah tersebut adalah
sawah human, di dalam menyampaikanpelajaran kepada santri beliau menggunakan metode
yang umumnya diterapkan di pesantrenpesantren tradisional yaitu dengan cara
balagan (bandongan) dan Sorogan. (Wawancara dengan Kepala Desa Bantarkalong, 25
Desember 2011)
a.
Tradisi Religius dan
Hal Tabu
Ada beberapa
tradisi masyarakat Bantarkalong dari warisan ajaran Syakh H. Zaenuddin diantaranya.
1) Jajabur
dan Pamalem pada Bulan Ramadhan (kebiasaan memberi makanan pada malam-malam
Ramadhan sebagai sodakoh)
2) Kerukunan
dan persaudaraan yang erat tanpa membedakan kedudukan dan status sosial ini
dapat dilihat pada kegiatan bersama membersihkan makam pada tanggal 25 Ramadhan
dan ziarah bersama sehabis sembahyang led pada tanggal 1 (satu) Syawal.
Hal yang tabu
bagi masyarakat Bantarkalong adalah menabu Gong. Setiap bentuk kesenian yang
menggunakan Gong tabu untuk hukumnya (sampai sekarang masih berlaku).
b.
Pasidkah
dan Paseban
Syakh H.
Zaenuddin selain di kenal waliyullah juga sebagai seorang birokat yang diplomat
Dari perjuangannya Bantarkalong menjadi daerah Pasidkah. Dulu daerahnya
meliputi kaum Bantarkalong, Ciawitali, Legok Menol, Cipalahlar, Cimertug,
Darawati Kaler dan Cisurupan. Dalam menjalankan roda pemerintahan tidak mau
tunduk kepada kekuasaaan Belanda, dipakai untuk kesejahteraan penduduk
Bantarkalong. Dan ini wujud keberanian dari ketidaksetujuan Syekh H. Zaenuddin
terhadap penjajahan Belanda menurut beberapa orang penduduk disana menyatakan
Belanda tidak berani mengganggu daerah Pasidkah. (Adi, 2011)
Adapun
daerah diluar Pasidkah disebut Paseban. Walaupun begitu daerah paseban tetap menghormati
daerah pasidkah karena wibawa dan karismanya Syekh H.Zaenuddin. Kegiatan yang
berhubungan dengan daerah pasidkah dan paseban diantaranya dengan adanya
kegiatan Pahajat yang dilaksanakan sehari sebelum hari raya (lebaran)
c.
Silsilah
Syekh H. Zaenuddin
Menurut
penuturan KH Ahmad Muhtarom, Syekh H. Zaenuddin merupakan santri dari Syekh H.
Abdul Muhyi keturunannya bertemu pada cucunya yaitu Syekh Zaenul Burhan menikah
dengan cucunya Syekh H. Abdul Muhyi Siti Rengka, jadi kaitannya dengan
Pamijahan sangat erat Dari sumber yang layak di percaya Syekh H. Zenuddin
dilahirkan dari kraton Sumedang, perkiraan rasional itu terjadi pada awal abad
ke 17 lebih jelasnya seperti yang tertulis dibawah ini Raden Jaya Taruna Kusuma
(Pangeran Kornel)? mempunyai putra Raden Martadijaya dan terakhir Syekh H.
Zaenuddin. Syekh H. Zaenuddin mempunyai empat istri
1) Sembah
Sempuh (Rama Mujibah)
2) Sembah
Muhammad (Raden Galing)
3) Sembah
Wetan
4) Sembah
Apun
Dari Sembah
Sepuh mempunyai empat anak
1) Embah
Awiska
2) Embah
Sails
3) ..............
4) Embah
Nagaisah
Dari Sembah
Muhammad mempunyai Enam orang anak
1)
Syekh Zaenal Burhan
2)
Eyang Renda
3)
Embah Kaneja
4)
Embah Siti Patimah
5)
Embah Zaenul Abidin
6)
Embah Sari Kodiman
Dari Sembah
Wetan mempunyai lima orang anak
1)
Embah Jaya Dinata
2)
Embah Jaya Nurina
3)
Embah Zaenul Ahmad
4)
Embah Siti
5)
Embah Jaya Dinata
Dari Sembah
Apun (belum ada data) Embah Kaneja cucu Beliau dari Sembah Muhammad (istri
kedua) mempunyai Lima orang anak
1)
Sembah Jaya Munara
2)
Sembah Sari Patimah
3)
Sembah Salijam
4)
Sembah Sakiyam
5)
Sembah Jariah
Embah Sari
Kodiman mempunyai satu orang putri yaitu Sembah Simu Dari Syekh Zaenal Burhan
dan Siti Rengka menurunkan :
1)
Eyang H. Nairn
2)
Eyang H. Romli
3)
Eyang H. Abdullah
4)
Eyang H. Saleh
5)
K.H. Ishaq
6)
K.H. Ahmad Muhtarom
2.
Kepercayaan
Masyarakat Terhadap Budaya dan Kesenian yang Diwariskan Syekh H. Zaenuddin
Sebagai saksi
sejarah Mesjid Kaum Bantarkalong merupakan tempat pendidikan santri (pesantren)
tatkala Syekh H. Zaenuddin masih jumeneng (hidup) sekarang pesantren tersebut pindah
ke selatan dengan nama Pesantren Muara sangat terkenal pada jaman K.H. Ishaq
dan merupakan pusat ilmu keagamaan di Tasik Selatan.
Masyarakat
Tasik Selatan khususnya desa Bantarkalong sangat menjunjung tinggi akan perjuangan
Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam Hal ini terlihat bahwa
penduduk di desa Bantarkalong beragama Islam. Masyarakat setempat bahu-membahu
membuat sarana dan prasarana di sekitar makam Syekh H. Zaenuddin sebagai
kepedulian warga terhadap perjuangan dan warisan leluhurnya. (Kepala Desa
Bantarkalong, 2011).
Di tempat
pemakaman Syekh H. Zaenuddin terdapat sumber amata air yang volumeairnya tetap
baik di musim kemarau atau pun musim hujan. Masyarakat yang ada di sekitar pemakaman
Syekh H. Zaenuddin atau pun pengunjung yang datang ke tempat itu apabila pulang
sering membawa air tersebut untuk diminum. Keberadaan air tersebut membuat
penawasaran setiap pengunujung yang datang ke sana.
Dengan
tradisi Islam yang kental, dari dulu di Bantarkalong terdapat seni buhun (tradisional)
yang masih lestari "Sinar Pangeling" sebuah group kesenian Terbang
Gebes yang bernuansa Islami pimpinan Hador, salah satu kesenian langka warisan
dari Syekh H. Zaenuddin, di dalamnya terdapat Shalawatan dan Pupujian, syaimya
syarat dengan nilai-nilai agama, nasehat-nasehat dan petuah-petuah yang bernuansa
Islami. Selain itu terdapat juga Terbang Seja, agak berbeda dengan Terbang
Gebes syaimya bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Dua kesenian ini sering
tampil pada even Akbar seperti Sukur Pesisir di Cipatujah, Menyambut tamu
negara, hari-hari besar, suriatan massal, menyambut kelahifan, Maulud Nabi.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian yang disajikan dalam pembahasan, sehingga dapat ditarik kesimpulan
yang lebih jelas mengenai gambaran dan uraian singkat tentang peran Syekh H.
Zaenuddin sebagai berikut:
1) Syekh
H. Zaenuddin adalah salah satu Syekh yang menyebarkan ajaran Islam ke bagian
selatan Tasikmalaya. Syekh H. Zaenuddin dalam menyebarkan agama Islamdi Desa
Bantarkalong melalui dakwah
2) Masyarakat
Tasik Selatan khususnya Desa Bantarkalong sangat menjunjung tinggi akan
perjuangan Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam. Hal ini terlihat
bahwa penduduk di Desa Bantarkalong beragama Islam
3)
Terdapat beberapa
tradisi masyarakat Bantarkalong dari warisan ajaran Syakh H. Zaenuddin
diantaranya: 1) Jajabur dan Pamalem pada Bulan Ramadhan; serta kerukunan dan
persaudaraan yang erat tanpa membedakan kedudukan dan status sosial.
Berdasarkan
kesimpulan tersebut, maka peran Syekh H. Zaenuddin layak untuk dijadikan
tauladan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai warga negara dan bangsa yang
baik tentu saja selalu ada rasa memiliki dan tanggungjawab atas perjuangan
Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam di selatan Tasikmalaya khususnya
di desa Bantarkalong. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan untuk:
1)
Peminat Sejarah
Agar dapat
menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan referensi bagi penyempurnaan penelitian
selanjutnya terutama tentang peranSyekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam
di desa Bantarkalong.
2)
Untuk Masyarakat
Diharapkan bagi
masyarakat dapat merasa bangga dan rasa memiliki, mencintai serta rasa
tanggungjawab yang besar dalam memelihara warisan leluhur, terutama untuk
masyarakat di wilayah desa Bantarkalong sebagai pewaris perjuangan Syekh H.
Zaenuddin..
3)
Perpustakaan
Hasil
penelitian sejarah ini dapat dijadikan sebagai koleksi untuk kajian sejarah
masa dahulu, dan sarana yang efektif untuk mengetahui lebih lebih jauh tentang
peran Syekh H. Zaenuddin dalam menjalankan syiar Islam di selatan Tasikmalaya
khususnya desa Bantarkalong.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,
Mizan, Bandung, 1995.
De
Graaf, H. J. & T. H. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa,
Pustaka Utama Grafity & KITLV, Jakarta,1985.
Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes Tinjauan Sastra
dan Sejarah, Unpad, Bandung, 1978.
Hoesen Djajadiningrat, Critische
beschouwing van de Sadjarah Banten. Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche
Geschiedschrijving, Nederland, 1913. Diterjemahkan Tinjauan Kritis Tentang
Sajarah Banten, Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa,Djambatan,
Jakarta, 1983.
Halwany
Michrob, Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Islam Banten, Yayasan Baluwarti,
Jakarta, 1993.
Hageman,
J.C.J. Gescheidenis der Soenda -Landen , TBG deel 16, Batavia : Lange &
Co’s Hage M. Nijhoff, 1869.
M.
C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1991.
Marwati
Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid
III, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Nina
Herlina Lubis, dkk, Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat, Alqa Print, Bandung,
2000.
P.
S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Depdikbud, Jakarta, 1978.
Ridin
Sofwan, Islamisasi di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
R. Z. Leirissa (penyunting), Sunda Kelapa Sebagai Bandar
Jalur Sutra, Depdikbud RI, Jakarta, 1997.
Susanto Zuhdi (penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur
Sutra, Depdikbud RiI, Jakarta, 1997.
Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Jilid I, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1992.
Uka
Tjadrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia, Menara
Kudus, Kudus, 2000.
Unang
Sunarjo, Kerajaan Cirebon 1479 –1809, Transito, Bandung, 1983.
Yoseph Iskandar, Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan
Sapta Rengga, Bandung, 2000.