KESULTANAN BANTEN
Sejarah
Kesultanan Banten Kerajaan Islam di Indonesia
Kerajaan
Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika kerajaan Demak memperluas pengaruhnya
ke kawasan pesisir barat pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan
perdagangan. Maulana Hasanuddin atau Fatahillah yang merupakan putera Sunan
Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut dengan mendirikan benteng yang
dinamakan Surosowan, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Kesultanan
Banten.
Pada
awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Tujuan pasukan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut
untuk perluasan wilayah sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian diicu oleh
adanya kerjasama antara Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi politik, hal ini
dapat membahayakan kedudukan kerajaan demak selepas kekalhaan mereka mengusir
portugis dari malaka tahun 1913. Atas perintah Sultan Trenggono,
Fatahillah melakukan penyerangan dan penkalukan Sunda Kelapa tahun 1527, yang
pada saat itu masih meruupakan pelabuhan utama Kerajaan Sunda.
Selain
mulai membangun benteng ertahana di Banten, Fatahillah juga melakukan perluasan
kekuasaan ke daerah penfhasil Lada di Lampung dan melakukan kontak dagang
dengan Raja Malangkabu ( Minangkabau, Kerajaan Indrapura), Sultan Munawar Syah
dan dianugrahi keris oeh raja tersebut.
Setelah
Sultan Trenggono wafat, kerajaan Demak mulai mundur dan Banten melepaskan diri
dan membuat kerajaan mandiri. Tahun 1570 Fatahillah wafat dan digantikan
anaknya yaitu Pangeran Yusuf.
Pada
masa Pangeran Yusuf, tahun 1579 daerah daerah dibawah Pajajaran ditaklukan dan
membuat kubu kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf wafat dan digantikan
oleh puteranya yaitu Maulana Muhammad. Tahun 1596, Maulana Muhammad melancarkan
serangan ke Palembang yang saat itu diperintah oleh Ki Gede ing Suro
(1572-1627) yang merupakan penyiar agama islam asal Surabaya yang kala itu
kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan merupakan saingan kerjaan
Banten. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir dapat ditaklukan, namun
tiba-tiba Maulana Muhammad terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena
itu ia disebut Prabu Seda ing Palembang. Akhirnya tentara Banten mundur.
Putra
Maulana Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak.
Pemerintahan digantinkan oleh sang Mangkubumi. Mangkubumi berhasil disingkirkan
Pangeran Manggala. Setelah Abumufakir cukup dewasa, pemerintahan sepenuhnya
dipegang oleh Abumufakir.
Tahun
1596 Belanda datang ke pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Lalu mereka
melakukakn hubungan dagang dengan Banten. Namun Belanda bersikap angkuh dan
sombong, bahkan berbuat kekacauan. Banten pun mengusir Belanda. Dua tahun
kemudian Belanda datang lagi dengan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang
di Banten dan Jayakarta.
Abad
ke 17 banten mencapai masa keemasan. Setelah Abumufakir wafat, ia digantikan
oleh Abumali Achmad. Setelah itu digantikan oleh Sultan yang terkenal yaitu Sultan
Abdulfattah atau Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah tahun
1651-1682.
Pada
masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik dalam istana.
Raja muda Sultan Haji dihasut oleh VOC untuk menentang Sultan Ageng Tirtayasa
dengan melakukan politik adu domba. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa membuat semakin kuatnya VOC. Sedangkan raja raja pengganti Sultan
Ageng Tirtayasa bukanlah raja raja yang kuat. Maka berakhirlah kerajaan Banten.sumber:
http://history-xscience1.blogspot.co.id/2014/05/sejarah-kesultanan-banten-kerajaan.html
dan http://blog-ipah.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-kerajaan-banten.html
Kesultanan Banten berawal
ketika Kesultanan Demak memperluas
pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan
Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten
yang berafiliasi ke Demak.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang
putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak
yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan
menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat
(1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak
Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih
terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu
oleh para ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.
Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian
Banten maju pesat.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
a.
Sunan Gunung Jati
b.
Sultan Maulana
Hasanudin 1552 – 1570
c.
Maulana Yusuf 1570 – 1580
d.
Maulana Muhammad 1585 – 1590
h.
Sultan Abdul Kahar (Sultan
Haji) 1683 – 1687
l.
Halimin
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah,
lahir sekitar 1450 M namun ada juga yang mengatakan
bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung
Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar
di Jawa bernama walisongo.
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar
1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin
Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi
kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal
Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh
Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang
silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyi Subang Larang)
adik Kiyan Santang bergelar
Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa ditemui di dalam komplek
KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh
Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos)
menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir,
tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika
itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro,
Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi,
Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin
terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan
kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama
Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai
Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra
yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual
dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar
agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana
saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib
dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana
membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur
Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan
menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya
wafat.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480,
beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten.
Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang
kelak menjadi Sultan Banten I.
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba
masa pendirianKesultanan Demak tahun
1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan
Muballigh yang sekarang kita kenal dengan namaWalisongo. Pada masa ini beliau berusia
sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi
Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan
Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan
beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa
bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari
kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan
Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan
Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan
disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga
1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah
karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan danGaluh (di Jawa
Barat) dan Majapahit (di
Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di
Asia Tenggara.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di
Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif
Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam
kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam
membimbing Pati Unus dalam
pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau Jawa
dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu
Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di
tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di
tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih
tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan
dikenal dengan nama Fatahillah),untuk
menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan
menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang
Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan
yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di
Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda
Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak
memiliki lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi
kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni
Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah
bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam
Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat
gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten
segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan
banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu
persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam
pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat
adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya
setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun
(1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana
Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk
Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau
Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua
adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton
masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di
pedalaman Banten wilayahCibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari
riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima
opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang
merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka
inilah cikal bakal Penduduk Baduy Dalam sekarang yang
terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan
dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke
pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke
3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan.
Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap
memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap
bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para
Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan
hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang
diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa
seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat
telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya
penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar
keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah
air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif
Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat
ulung dan Negarawan yang bijak.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara
Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi
negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya
karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil
beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati
Rahimahullah.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1692)
adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650.
Ketika kecil, ia bergelarPangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia
diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran
Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal
dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul
Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan
keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid
Banten.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa
di Kesultanan Banten pada periode 1651 –1682.
Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOCmenerapkan
perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian
Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan
terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten
sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan
mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti
kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya,
Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan
Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di
Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang
dipimpin oleh Kapten Tack dan
de Saint Martin.
SILSILAH SULTAN BANTEN
SYARIF HIDAYATULLAH
– SUNAN GUNUNG JATI Berputera :
|
||
1. Ratu Ayu
Pembayun.
|
4. Maulana
Hasanuddin
|
|
2. Pangeran
Pasarean
|
5. Pangeran
Bratakelana
|
|
3. Pangeran Jaya
Lelana
|
6. Ratu Wianon
|
|
7. Pangeran Turusmi
|
||
PANGERAN HASANUDDIN
– PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :
|
||
1. Ratu Pembayu
|
8. Ratu Keben
|
|
2. Pangeran Yusuf
|
9. Ratu Terpenter
|
|
3. Pangeran Arya
Japara
|
10. Ratu Biru
|
|
4. Pangeran
Suniararas
|
11. Ratu Ayu
Arsanengah
|
|
5. Pangeran
Pajajara
|
12. Pangeran
Pajajaran Wado
|
|
6. Pangeran
Pringgalaya
|
13. Tumenggung
Wilatikta
|
|
7. Pangeran Sabrang
LorPangeran
|
14. Ratu Ayu
Kamudarage
|
|
15. Pangeran
Sabrang Wetan
|
||
MAULANA YUSUF
PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :
|
||
1. Pangeran Arya
Upapati
|
8. Ratu Rangga
|
|
2. Pangeran Arya
Adikara
|
9. Ratu Ayu Wiyos
|
|
3. Pangeran Arya
Mandalika
|
10. Ratu Manis
|
|
4. Pangeran Arya
Ranamanggala
|
11. Pangeran
Manduraraja
|
|
5. Pangeran Arya
Seminingrat
|
12. Pangeran widara
|
|
6. Ratu Demang
|
13. Ratu Belimbing
|
|
7. Ratu Pecatanda
|
14. Maulana
Muhammad
|
|
MAULANA MUHAMMAD
PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :
|
||
1. Pangeran Abdul
Kadir
|
||
SULTAN ABUL
MAFAKHIR MAHMUD ‘ABDUL KADIR KENARI (15961651) Berputra:
|
||
1. Sultan ‘Abdul
Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
|
19. Pangeran Arya
Wirasuta
|
|
2. Ratu Dewi
|
20. Ratu Gading20.
|
|
3. Ratu Ayu
|
21. Ratu Pandan
|
|
4. Pangeran Arya
Banten
|
22. Pangeran
Wirasmara
|
|
5. Ratu Mirah
|
23. Ratu Sandi
|
|
6. Pangeran
Sudamanggala
|
24. Pangeran Arya
Jayaningrat
|
|
7. Pangeran
Ranamanggala
|
25. Ratu Citra
|
|
8. Ratu Belimbing
|
26. Pangeran Arya
Adiwangsa
|
|
9. Ratu Gedong
|
27. Pangeran Arya
Sutakusuma
|
|
10. Pangeran Arya
Maduraja
|
28. Pangeran Arya
Jayasantika
|
|
11. Pangeran Kidul
|
29. Ratu Hafsah
|
|
12. Ratu Dalem
|
30. Ratu Pojok
|
|
13. Ratu Lor
|
31. Ratu Pacar
|
|
14. Pangeran
Seminingrat
|
32. Ratu Bangsal
|
|
15. Ratu Kidul
|
33. Ratu Salamah
|
|
16. Pangeran Arya
Wiratmaka
|
34. Ratu Ratmala
|
|
17. Pangeran Arya
Danuwangsa
|
35. Ratu Hasanah
|
|
18. Pangeran Arya
Prabangsa
|
36. Ratu Husaerah
|
|
37. Ratu Kelumpuk
|
||
38. Ratu Jiput
|
||
39. Ratu Wuragil
|
||
PUTRA MAHKOTA
SULTAN ‘ABDUL MA’ALI AHMAD, Berputera:
|
||
1. Abul Fath Abdul
Fattah
|
8. Pangeran Arya
Kidul
|
|
2. Ratu Panenggak
|
9. Ratu Tinumpuk
|
|
3. Ratu Nengah
|
10. Ratu Inten
|
|
4. Pangeran Arya
Elor
|
11. Pangeran Arya
Dipanegara
|
|
5. Ratu Wijil
|
12. Pangeran Arya
Ardikusuma
|
|
6. Ratu Puspita
|
13. Pangeran Arya
Kulon
|
|
7. Pangeran Arya
Ewaraja
|
14. Pangeran Arya
Wetan
|
|
15. Ratu Ayu
Ingalengkadipura
|
||
SULTAN AGENG
TIRTAYASA -’ABUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :
|
||
1. Sultan Haji
|
16. Tubagus
Muhammad ‘Athif
|
|
2. Pangeran Arya
‘abdul ‘Alim
|
17. Tubagus Abdul
|
|
3. Pangeran Arya
Ingayudadipura
|
18. Ratu Raja Mirah
|
|
4. Pangeran Arya
Purbaya
|
19. Ratu Ayu
|
|
5. Pangeran Sugiri
|
20. Ratu Kidul
|
|
6. Tubagus Rajasuta
|
21. Ratu Marta
|
|
7. Tubagus
Rajaputra
|
22. Ratu Adi
|
|
8. Tubagus Husaen
|
23. Ratu Ummu
|
|
9. Raden Mandaraka
|
24. Ratu Hadijah
|
|
10. Raden Saleh
|
25. Ratu Habibah
|
|
11. Raden Rum
|
26. Ratu Fatimah
|
|
12. Raden Mesir
|
27. Ratu Asyiqoh
|
|
13. Raden Muhammad
|
28. Ratu Nasibah
|
|
14. Raden Muhsin
|
29. Tubagus Kulon
|
|
15. Tubagus Wetan
|
||
SULTAN ABU NASR
ABDUL KAHHAR – SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
|
||
1. Sultan Abdul
Fadhl
|
6. Ratu Muhammad
Alim
|
|
2. Sultan Abul
Mahasin
|
7. Ratu Rohimah
|
|
3. Pangeran
Muhammad Thahir
|
8. Ratu Hamimah
|
|
4. Pangeran
Fadhludin
|
9. Pangeran
Ksatrian
|
|
5. Pangeran
Ja’farrudin
|
10. Ratu Mumbay
(Ratu Bombay)
|
|
SULTAN ABUDUL FADHL
(1687-1690) Berputra :
|
||
- Tidak Memiliki
Putera
|
||
SULTAN ABUL MAHASIN
ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :
|
||
1. Sultan Muhammad
Syifa
|
31. Raden Putera
|
|
2. Sultan Muhammad
Wasi’
|
32. Ratu Halimah
|
|
3. Pangeran Yusuf
|
33. Tubagus Sahib
|
|
4. Pangeran
Muhammad Shaleh
|
34. Ratu Sa’idah
|
|
5. Ratu Samiyah
|
35. Ratu Satijah
|
|
6. Ratu Komariyah
|
36. Ratu ‘Adawiyah
|
|
7. Pangeran
Tumenggung
|
37. Tubagus
Syarifuddin
|
|
8. Pangeran
Ardikusuma
|
38. Ratu ‘Afiyah
Ratnaningrat
|
|
9. Pangeran Anom
Mohammad Nuh
|
39. Tubagus Jamil
|
|
10. Ratu Fatimah
Putra
|
40. Tubagus Sa’jan
|
|
11. Ratu Badriyah
|
41. Tubagus Haji
|
|
12. Pangeran
Manduranagara
|
42. Ratu Thoyibah
|
|
13. Pangeran Jaya
Sentika
|
43. Ratu Khairiyah
Kumudaningrat
|
|
14. Ratu Jabariyah
|
44. Pangeran
Rajaningrat
|
|
15. Pangeran Abu
Hassan
|
45. Tubagus Jahidi
|
|
16. Pangeran Dipati
Banten
|
46. Tubagus Abdul
Aziz
|
|
17. Pangeran Ariya
|
47. Pangeran
Rajasantika
|
|
18. Raden Nasut
|
48. Tubagus
Kalamudin
|
|
19. Raden
Maksaruddin
|
49. Ratu SIti
Sa’ban Kusumaningrat
|
|
20. Pangeran
Dipakusuma
|
50. Tubagus
Abunasir
|
|
21. Ratu Afifah
|
51. Raden
Darmakusuma
|
|
22. Ratu Siti
Adirah
|
52. Raden Hamid
|
|
23. Ratu Safiqoh
|
53. Ratu Sifah
|
|
24. Tubagus
Wirakusuma
|
54. Ratu Minah
|
|
25. Tubagus
Abdurrahman
|
55. Ratu ‘Azizah
|
|
26. Tubagus Mahaim
|
56. Ratu Sehah
|
|
27. Raden Rauf
|
57. Ratu Suba/Ruba
|
|
28. Tubagus Abdul
Jalal
|
58. Tubagus
Muhammad Said (Pg. Natabaya)
|
|
29. Ratu Hayati
|
||
30. Ratu Muhibbah
|
||
SULTAN MUHAMMAD
SYIFA’ ZAINUL ARIFIN (1733 – 1750) Berputra :
|
||
1.Sultan Muhammad
‘Arif
|
7. Ratu Sa’diyah
|
|
2. Ratu Ayu
|
8. Ratu Halimah
|
|
3. Tubagus
Hasannudin
|
9. Tubagus Abu
Khaer
|
|
4. Raden Raja
Pangeran Rajasantika
|
10. Ratu Hayati
|
|
5. Pangeran
Muhammad Rajasantika
|
11. Tubagus
Muhammad Shaleh
|
|
6. Ratu ‘Afiyah
|
||
SULTAN SYARIFUDDIN
ARTU WAKIL (1750 – 1752 )
|
||
- Tidak Berputera
|
||
SULTAN MUHAMMAD
WASI’ ZAINUL ‘ALIMIN (1752-1753)
|
||
- Tidak Berputera
|
||
SULTAN MUHAMMAD
‘ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :
|
||
1. Sultan Abul
Mafakhir Muhammad Aliyudin
|
4. Pangeran
Suralaya
|
|
2. Sultan Muhyiddin
Zainusholiohin
|
5. Pangeran
Suramanggala
|
|
3 . Pangeran
Manggala
|
||
SULTAN ABUL
MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) Berputra :
|
||
1. Sultan Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin
|
5. Pangeran Musa
|
|
2. Sultan Agilludin
(Sultan Aliyuddin II)
|
6. Pangeran Yali
|
|
3. Pangeran Darma
|
7. Pangeran Ahmad
|
|
4. Pangeran
Muhammad Abbas
|
||
SULTAN MUHYIDDIN
ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) Berputra :
|
||
1. Sultan Muhammad
Shafiuddin
|
||
Sultan Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
|
||
Sultan Wakil
Pangeran Natawijaya (1802-1803)
|
||
Sultan Agilludin
(Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
|
||
Sultan Wakil
Pangeran Suramanggala (1808-1809)
|
||
Sultan Muhammad
Syafiuddin (1809-1813)
|
||
Sultan Muhammad
Rafiuddin (1813-1820)
|
||
Diambil dari buku : Catatan Masa Lalu Banten – Halwany
‘n Mudjahid Chudari